Inisiatif Membangkitkan Partisipasi Politik Bermunculan
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tren menurunnya partisipasi politik, munculnya gerakan kerelawanan nonpartisan dari masyarakat semakin relevan untuk menjaga kualitas demokrasi. Selain untuk membangkitkan kembali geliat partisipasi publik, gerakan seperti itu juga bisa menjadi penyeimbang di tengah tantangan kompleksitas penyelenggaraan pemilu serentak.
Di beberapa pemilu terakhir, ada kecenderungan tingkat penggunaan hak pilih ataupun pemantauan pemilu menurun. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, partisipasi pemilih 93,3 persen, lalu turun pada Pemilu 2004 dan 2009. Partisipasi sedikit naik pada Pemilu 2014 menjadi 75,11 persen. Di saat bersamaan, jumlah pemantau terakreditasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga turun, dari 66 lembaga pada Pemilu 1999 menjadi 29 pada Pemilu 2004, kemudian 19 pada Pemilu 2009 dan 22 pada Pemilu 2014.
Namun, menjelang pemungutan suara pada Pemilu 2019, berbagai upaya dilakukan oleh elemen masyarakat sipil untuk ikut memantau jalannya Pemilu 2019. Kerja-kerja pemantauan itu sebagian besar dilakukan dengan basis kesukarelawanan dan bergerak di berbagai bidang, mulai dari gerakan pendidikan dan sosialisasi politik hingga pemantauan kecurangan selama masa pemilu, serta pengawalan hasil penghitungan suara.
Gerakan-gerakan itu antara lain dilakukan oleh elemen masyarakat sipil yang digawangi Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Dengan menggandeng sekelompok anak muda di balik Kawal Pemilu 2014, mereka memunculkan upaya pemantauan Kawal Pemilu Jaga Suara 2019. Gerakan ini menyasar sukarelawan yang ingin bergabung memantau proses penghitungan suara hasil pemilu. Ada pula gerakan Jaga Pemilu, yang mengajak masyarakat untuk aktif mengawasi praktik kecurangan dan intimidasi di wilayahnya selama masa pemilu.
Selain gerakan pengawasan, muncul juga bentuk gerakan pendidikan politik dan sosialisasi untuk membangkitkan partisipasi pemilih (voter turnout). Seperti gerakan di ruang maya yang membantu calon pemilih memahami sepak terjang para calon anggota legislatif, antara lain RekamJejak.net dari Indonesia Corruption Watch, Pintarmemilih.id oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Jariungu.com, dan Temanrakyat.id.
Semakin relevan
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (7/4/2019), mengatakan, Pemilu 2019 memiliki tantangan kompleksitas masalah penyelenggaraan yang berbeda dari Pemilu 2014. Atas dasar itu, geliat gerakan masyarakat sipil yang aktif semakin relevan dibutuhkan di Pemilu 2019.
Secara teknis, upaya KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tetap memerlukan pengawalan. Sementara dilihat dari kondisi sosial masyarakat, pemilu saat ini juga cenderung diwarnai ketegangan karena produksi politik identitas dan iklim politik yang menghangat akibat tahun politik yang panjang pasca-Pemilihan Gubernur DKI 2017.
Oleh karena itu, peran elemen masyarakat sipil dan publik menjadi semakin penting untuk mengawal berjalannya pemilu. Gerakan seperti itu juga perlu terus dirawat dan dibangkitkan untuk menjaga kualitas demokrasi.
”Pemilu ini butuh ekstra energi. Dalam hal ini, pemantauan dari masyarakat sipil semakin relevan. Kepentingannya bukan sekadar menyukseskan pemilu dengan angka partisipasi pemilih yang tinggi, melainkan juga memperbaiki kualitas demokrasi dan menekan potensi konflik di akar rumput,” katanya.
Kondisi global menunjukkan adanya tren peningkatan partisipasi politik di sejumlah negara. Dalam laporan Indeks Demokrasi 2018 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit, Januari 2019 lalu, kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi politik sedang mengalami penurunan drastis. Namun, terlepas dari sentimen itu, partisipasi politik di banyak negara justru meningkat.
Masyarakat beramai-ramai menunjukkan bentuk partisipasi politik baik melalui forum formal, seperti menggunakan hak pilih saat pemilu, maupun secara nonformal lewat aksi aktivisme dan gerakan masyarakat sipil untuk mengawal proses demokrasi.
Arie menilai, di tengah polemik potensi rendahnya angka partisipasi pemilih saat pencoblosan, geliat partisipasi politik publik pada Pemilu 2019 tetap tinggi. Selain dari berbagai gerakan mengawal pemilu yang dimunculkan berbagai elemen masyarakat, hal itu juga dapat dilihat dari antusiasme publik secara perseorangan dalam mengawal proses pemilu, baik secara langsung maupun lewat media sosial.
”Partisipasi politik tidak hanya ditakar dari pernyataan ingin memilih, tetapi dapat dilihat juga dari aktifnya publik memantau dan mengawal proses pemilu,” katanya.
Pendiri Netgrit Hadar Nafis Gumay mengatakan, gerakan urun daya dalam bingkai kesukarelawanan merupakan upaya penyadaran kepada masyarakat. Meskipun tidak ada imbalan material, publik diajak untuk turut serta terlibat dalam kegiatan kesukarelawanan menjaga pemilu.
Beberapa orang menilai gerakan semacam itu tidak perlu lagi dilakukan karena sistem tabulasi yang dimiliki KPU telah memadai. Namun, menurut Hadar, justru peran publik amat penting sebagai mekanisme penyeimbang atau pembanding bagi kerja-kerja KPU.
Dalam kondisi sekarang, ketika penyelenggara pemilu dituding tidak bekerja dengan netral, curang, dan sebagainya, menurut Hadar, kerja-kerja publik sebagai pembanding justru menemukan relevansinya. ”Kalau hasilnya sama dengan penghitungan KPU, itu bisa menguatkan KPU sendiri sebagai penyelenggara pemilu. Kalau ada yang berbeda, itu bisa menjadi bahan koreksi dan pengkajian oleh KPU,” kata Hadar.
Di bidang pendidikan dan sosialisasi politik, penggiat Teman Rakyat, Zaky Muzakir, mengatakan, upaya pendidikan politik tidak bisa hanya menjadi fokus KPU, Bawaslu, atau pemerhati pemilu dan organisasi masyarakat sipil. Sosialisasi juga dapat dilakukan oleh warga negara dan calon pemilih yang melek politik.
Atas dasar itu, Zaky dan teman-temannya sesama pegawai agensi periklanan membuat situs www.temanrakyat.id, yang bertujuan mengupas informasi mendalam terkait para calon anggota legislatif agar anak-anak muda, khususnya, memiliki referensi dalam memilih. Ikhtiar itu dilakukan lewat mengajak calon pemilih pemula dan muda melakukan gerakan unboxing caleg atau mengulas caleg.
”Kami ingin anak-anak muda ikut berpartisipasi, aktif mencari tahu rekam jejak caleg yang ada. Sebab, banyak yang memilih ingin golput justru karena tidak tahu mau memilih caleg yang mana, apalagi sekarang informasi soal caleg memang jauh lebih sedikit daripada capres-cawapres,” katanya.
Sementara itu, inisiator gerakan JagaPemilu.com, Abdul Malik Raharusun, mengatakan, isu kecurangan dan intimidasi kerap membayangi penyelenggaraan pemilu. Atas dasar itu, gerakan JagaPemilu.com yang dijalankan sejumlah pegawai freelance di bidang IT menyediakan fasilitas bagi masyarakat untuk mengirimkan bukti jika ada praktik kecurangan atau intimidasi di lingkungan sekitarnya.
Untuk menjaring informasi yang benar-benar terverifikasi, para pelapor diharuskan menyertakan foto dan identitas sebagai langkah verifikasi awal. ”Baik yang dilakukan oknum aparat atau pihk mana pun, kami ingin mendorong masyarakat berani bersuara. Seluruh data yang kami kumpulkan kemudian akan disampaikan kepada Bawaslu dan akan kami kawal terus sampai ditindaklanjuti,” ujarnya.
Tantangan
Meski demikian, gerakan masyarakat sipil menghadapi tantangan yang tidak mudah, mulai dari daya gaung dan efektivitas gerakan yang kurang menjangkau masyarakat, hingga potensi dicap partisan.
Profesor Riset Bidang Sosiologi pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Henny Warsilah mengatakan, gerakan mobilisasi sukarelawan untuk memantau hasil pemilu menghadapi tantangan, khususnya dalam hal mempertahankan citra dan sikap nonpartisan.
Meskipun gerakan tersebut independen, risiko diberi label sebagai pendukung salah satu paslon tetap ada. Hal itu dikarenakan kehadiran para pemantau pemilu, khususnya kelompok pemilih pemula, tidak disertai upaya pendidikan politik kritis. Terkait dengan hal itu, Henny mengingatkan, proses pendaftaran dan penjaringan pemantau menjadi penting.
Aktivis kepemudaan yang menginisiasi gerakan Bangun Negerikoe, yang fokus pada gerakan penyemaian karakter Pancasila dan Wawasan Nusantara bagi kaum muda, Suryo AB, mengatakan, pemantauan pemilu oleh elemen masyarakat tetap harus dilakukan. Hal ini terutama untuk mengantisipasi dimainkannya narasi kecurangan pemilu saat hasil kontestasi pilpres keluar.
Ia melihat bahwa saat ini upaya tersebut sudah dimulai dalam sejumlah skala kecil. Bahkan di antaranya sudah melakukan mobilisasi di media sosial. Akan tetapi, ia mempertanyakan apakah pemantauan independen tersebut, terutama yang berbasis aplikasi digital, bisa benar-benar dilakukan secara efektif, khususnya dari aspek proses pelaporan.