Banjir yang melanda Kabupaten Bandung, Jawa Barat, memaksa ratusan warga mengungsi. Warga pun kesulitan air bersih.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA dan Samuel Oktora
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Banjir yang melanda Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (4/4/2019), membuat ratusan warga mengungsi. Namun, keterbatasan di pos pengungsian membuat warga kesulitan, terutama dalam penyediaan air bersih untuk minum dan mandi bagi anak-anak.
Yulianti (27), warga RW 004 Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Dayeuhkolot, saat ditemui di posko pengungsian Desa Daeyuhkolot, Jumat (5/4/2019), terpaksa memandikan bayi perempuannya yang baru berumur empat bulan dengan air galon.
Di posko itu, Yuli mengungsi bersama suami dan dua anaknya. Rumahnya terendam banjir hingga lebih dari 1,5 meter sehingga tidak bisa ditinggali. Kebutuhan air bersih membuat Yuli menggunakan lebih dari satu galon air untuk memandikan bayi dan minum. Meski air di tempat penampungan tidak keruh, dia tetap khawatir jika menggunakan air tersebut.
”Bayi itu sensitif, jadi saya tidak berani ambil risiko. Satu galon air untuk satu bayi per hari. Lebih baik begini asalkan anak saya tidak gatal-gatal. Saya khawatir dia sakit,” kata Yuli.
Yuli mengatakan, bayinya masih dalam keadaan sehat, tetapi ia khawatir penyakit diare yang diderita beberapa hari lalu menyerang kembali karena lingkungan rumahnya yang mulai kotor akibat sampah bawaan banjir. Karena itu, ia berharap adanya bantuan air bersih.
Saepullah (46), pengurus pengungsian Desa Dayeuhkolot, mengatakan, selain air bersih, para penyintas juga membutuhkan makanan. Di posko ini terdapat 189 jiwa dengan jumlah anak balita 30 anak dan 23 warga lanjut usia. Ia berharap bantuan segera datang sehingga warga tidak terkena penyakit.
Tidak hanya di pengungsian, kondisi serupa juga ditemui pada warga yang bertahan di rumah. Aliran listrik yang sengaja dimatikan demi keselamatan berimbas pada terhentinya air melalui pompa. Dani (38), warga RW 005, mengambil air di kantor desa yang berada di depan posko pengungsian. Air tersebut digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian bersama enam anggota keluarga lainnya.
Dengan jarak yang terpaut lebih 100 meter dari rumah, Dani melintasi banjir sambil membawa jeriken berkapasitas 10 liter. ”Pompa saya tidak menyala, jadi tidak bisa ambil air dari sumur. Kalau sumurnya nyala juga, saya tidak mau ambil. Airnya pasti bercampur dengan banjir. Jadi, mau tidak mau saya mengambil di sini,” katanya.
Distribusi logistik
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung Sudrajat mengatakan, bantuan logistik diutamakan disalurkan ke lokasi-lokasi pengungsian. Adapun jumlah pengungsi di beberapa lokasi di Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, dan Kecamatan Dayeuhkolot sebanyak 742 jiwa.
Akan tetapi, warga yang terdampak banjir ini sebanyak 14.029 keluarga atau 37.731 jiwa. Mereka adalah warga yang rumahnya juga kebanjiran, tetapi masih memilih bertahan di rumah, baik di lantai 2 maupun loteng rumah.
Menurut Sudrajat, banjir ini akibat tingginya curah hujan yang terjadi sejak 26 Maret. Hingga saat ini, hujan beberapa kali masih mengguyur sehingga mengakibatkan meluapnya Sungai Citarum, Cikapundung, dan sebagian anak Sungai Cisangkuy.
Tahun ini, banjir di kawasan ini sebelumnya juga terjadi pada 15 Januari, 24 Februari, dan 8 Maret. Banjir pada 8 Maret bahkan dampaknya lebih besar dibandingkan kejadian kali ini. Saat itu 22.105 keluarga atau sekitar 67.000 jiwa terkena dampak banjir dan lebih kurang 2.000 jiwa mengungsi.
Secara terpisah, ketika dikonfirmasi, Kepala Stasiun Geofisika Kelas I BMKG Bandung Tony Agus Wijaya mengatakan, tingginya curah hujan itu karena peningkatan pembentukan awan hujan, kelembaban udara yang tinggi, dan belokan angin di sekitar kawasan Bandung Raya.
”Curah hujan di kawasan Baleendah pada 3 April sebanyak 99,5 milimeter per hari. Itu tergolong lebat karena lebih dari 50 milimeter per hari,” kata Tony.
Tony juga menjelaskan, saat ini, Bandung dan sekitarnya masih dalam musim hujan. Awal musim kemarau diperkirakan pada awal Mei, sementara April ini adalah masa pancaroba.
Tony menambahkan, pada masa pancaroba, potensi munculnya awan kumulonimbus (CB) lebih meningkat. Dalam sehari, cuaca mudah berubah. Saat pagi cerah, siangnya dapat terbentuk awan CB yang menyebabkan hujan lebat berdurasi kurang dari 1 jam dalam skala lokal, angin kencang, dan petir.
”Awan kumulonimbus yang berlapis tinggi berpotensi pula menyebabkan hujan es dalam skala lokal,” ujar Tony.