JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah didorong untuk meningkatkan kualitas kesehatan di daerahnya, khususnya dalam menangani kasus stunting atau tengkes. Hingga 2018, angka prevalensi tengkes pada balita masih di bawah standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia sekalipun jika dibandingkan tahun 2013, sudah ada penurunan berarti.
Berdasarkan Kajian Sektor Kesehatan 2018 dan Analisis Beban Penyakit Tingkat Provinsi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan bersama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), yang dipaparkan di Jakarta, Kamis (4/4/2019), secara umum, Indonesia mampu meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat.
Peningkatan status itu ditandai dengan penurunan angka tengkes. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi tengkes pada balita menurun dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018.
Meski demikian, angka tersebut masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni tidak boleh melebihi 20 persen.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang juga Ketua Tim Kajian Sektor Kesehatan Ascobat Gani mengatakan, persoalan tengkes tidak hanya berkaitan dengan persoalan gizi, tetapi terkait dengan persoalan lain yang mempengaruhinya. “Di beberapa daerah memiliki persoalan yang berbeda-beda terkait tengkes,” katanya.
Ia mencontohkan, persoalan tengkes masih terjadi di Jawa Barat sekalipun tanah di wilayah tersebut subur. Persoalan tengkes di Jawa Barat menurutnya, lebih karena buruknya pola asuh dan sanitasi.
Beberapa anak yang mengalami tengkes diasuh oleh neneknya karena mereka ditinggalkan orangtuanya yang bercerai atau ditinggal bekerja di luar kota.
Selain itu, persoalan sanitasi juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Sebab, masih banyak ditemukan, jarak antara sumur dengan kamar mandi kurang dari dua meter. “Tengkes ini persoalan yang rumit, sehingga perlu penanganan mulai dari Pemerintah Pusat, provinsi, hingga desa,” ujar Ascobat.
Oleh karena persoalan tengkes tidak hanya soal gizi, dia pun mengapresiasi ketika pemerintah memutuskan penanganan tengkes di daerah dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, bukan Dinas Kesehatan.
Kewenangan
Menurut Ascobat, pengaruh pemda sangat besar dalam menurunkan jumlah tengkes di masing-masing daerah, Sebagai contoh di Kabupaten Tolikara, Papua. Di daerah ini, tidak ada kasus bayi berat badan lahir rendah (BBLR) karena pemerintah daerah fokus berinvenstasi pada kualitas sumber daya manusia, khususnya pada masa 1.000 hari kehidupan.
“Dana otonomi khusus di Papua difokuskan pada peningkatan sayuran dan peternakan sehingga dapat mencukupi kebutuhan gizi ibu yang berpengaruh pada kesehatan bayi,” ujar Ascobat.
Mantan Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi mengatakan, pemda, khususnya pemerintah provinsi, memiliki kewenangan besar untuk bisa meningkatkan kualitas kesehatan di wilayahnya. Oleh karena itu, pemda diharapkan dapat menyusun kebijakan yang lebih spesifik.
“Jika Gubernur dan dinas kesehatan tidak mampu mengelola kesehatan dengan baik, maka akan berpengaruh pada kualitas human capital (modal manusia) di daerahnya,” kata Nafsiah.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto, persoalan sosial demografi juga menjadi penyebab masih tingginya jumlah tengkes di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada kerjasama lintas sektor. Salah satunya, program Keluarga Berencana perlu terus dilaksanakan karena mampu menurunkan angka tengkes di beberapa wilayah.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko menguatkan hal ini.
“Pemerintah Pusat telah menganggarkan 5 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk kesehatan, termasuk untuk mengatasi persoalan tengkes,” kata Subandi. Di samping itu, pembiayaan untuk kesehatan juga akan melibatkan swasta.