Tanda Tanya di Dusun Karet
Hidup bermasyarakat di tengah kebinekaan kembali diuji di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kali ini, satu keluarga pendatang yang mengontrak rumah di Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, DIY, dipersoalkan keberadaannya. Latar belakang keyakinan menjadi sumber persoalan.
Adalah Slamet Jumiarto (42), warga baru yang mengontrak rumah itu. Ia mengontrak rumah pada akhir Maret 2019. Sebelum mengontrak rumah itu, ia telah menanyakan kepada perantara atau calo yang membantunya mencari rumah mengenai aturan atau kesepakatan warga di dusun tersebut.
”Saya mengontrak di sini itu tahu dari marketplace (forum jual beli) di Facebook. Saya sudah sampaikan ke calonya, saya non-Muslim, apakah boleh tinggal di sini. Katanya tidak masalah,” ujar Slamet saat ditemui di rumah kontrakannya, Selasa (2/4/2019).
Merasa semua baik-baik saja, Slamet membayar uang sewa senilai Rp 4 juta untuk mengontrak rumah tersebut selama satu tahun. Sabtu (30/3/2019), Slamet beserta istri dan dua anaknya boyongan ke rumah kontrakan itu. Keesokan harinya, ia melapor ke ketua RT setempat menyerahkan salinan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan buku nikah.
Saat itulah, ia baru menerima informasi mengenai aturan di Dusun Karet, khususnya tentang pendatang baru di bawah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa. Aturan itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Kelompok Kegiatan (Pokgiat) Dusun Karet Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet.
SK tertanggal 19 Oktober 2015 itu menyatakan, pendatang baru di Dusun Karet harus beragama Islam. Selain itu, SK tersebut juga menyebut, para penduduk Dusun Karet keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama selain Islam.
Slamet yang merasakan ada kejanggalan kemudian memberitahukan situasi itu kepada Pemerintah Provinsi DIY. Senin lalu, ia akhirnya bertemu dengan Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Gatot Saptadi. Ia juga bertemu Sekda Bantul Helmi Jamharis.
Lalu, pada Senin malam itu juga, Slamet diajak melakukan mediasi dengan perwakilan tokoh masyarakat dan aparatur pemerintahan setempat. Dalam mediasi muncul usulan agar ia dibolehkan tinggal di dusun tersebut selama enam bulan.
”Usulan itu saya tolak,” kata pria yang juga pelukis itu. Ia mengontrak rumah itu selama satu tahun.
Namun, akhirnya ia memutuskan mengalah dan bersedia pindah dari Dusun Karet dengan syarat pemilik rumah mengembalikan uang sewa yang telah dibayarkannya. Selain itu, ia meminta agar diberi waktu mencari kontrakan rumah dulu sebelum pindah.
”Selama belum mendapatkan kontrakan baru, saya minta izin tinggal di sini. Mungkin dua minggu sampai satu bulan lagi saya akan pindah,” kata Slamet.
Kepala Dusun Karet Iswanto mengakui adanya aturan yang tidak membolehkan warga non-Muslim tinggal atau mengontrak rumah di dusun tersebut. Iswanto menyebut aturan itu dibuat berdasarkan kesepakatan warga Karet. ”Ini sudah kesepakatan warga masyarakat,” ujarnya.
Iswanto mengatakan, Dusun Karet memang dihuni warga yang mayoritas beragama Islam. Dari sekitar 540 keluarga di Dusun Karet, hanya ada satu keluarga yang beragama selain Islam.
Saat ditemui pada Selasa pagi, Iswanto menyatakan, aturan tentang pendatang baru di Dusun Karet itu akan direvisi. Akan tetapi, ia tidak menjelaskan secara rinci poin apa saja yang direvisi. ”Aturan ini mau direvisi. Ada kata-kata yang kurang pas,” ujarnya.
Aturan dicabut
Namun, ketika dihubungi kembali pada Selasa sore, Iswanto mengatakan, aturan tentang pelarangan pendatang non-Muslim di Dusun Karet sudah dicabut. Pencabutan dilakukan pada Selasa siang.
”Sudah dicabut, tetapi Pak Slamet sendiri sudah bilang sejak mediasi tadi malam mau pindah. Sementara ini masih menetap di situ sambil nunggu mendapat kontrakan baru,” katanya.
Mengenai aturan larangan tinggal bagi non-Muslim di dusun itu, salah satu warga Dusun Karet, Ismadi (34), mengaku tidak tahu-menahu. Secara pribadi, dirinya juga tak keberatan apabila ada pendatang non-Muslim yang tinggal di Dusun Karet.
”Kalau secara pribadi, saya enggak masalah karena teman saya juga banyak yang non-Muslim,” ujar Ismadi yang tinggal di samping rumah kontrakan Slamet.
Tidak bisa dibenarkan
Di tempat terpisah, Bupati Bantul Suharsono menyatakan, aturan ihwal pendatang baru di Dusun Karet itu tidak bisa dibenarkan. Sebab, semua warga negara seharusnya diperlakukan sama dan tidak boleh mendapat diskriminasi karena agama yang dianutnya.
”Indonesia itu mengedepankan kebinekaan, tidak ada kita mendiskreditkan suku, ras, dan agama. Jadi, aturan semacam itu tidak boleh,” katanya.
Oleh karena itu, kata Suharsono, aturan ihwal pendatang baru di Dusun Karet harus diubah. ”Kita, kan, bukan negara Islam. Jadi, semua warga negara beda ras, suku, agama, tidak ada masalah sebetulnya. Enggak boleh ada larangan semacam itu,” tuturnya.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY Agung Supriyanto menyatakan akan mencari duduk perkara atas persoalan tersebut sehingga semua pihak memperoleh jalan keluar terbaik. Persoalan itu harus diurai sejelas-jelasnya supaya tidak menimbulkan kebingungan ataupun prasangka buruk siapa saja.
”Kami sedang melakukan koordinasi dengan pemerintah setempat. Walaupun berita-berita yang masuk kepada kami sudah ada saling pemahaman (antarwarga), kami belum bisa berbicara kebenarannya seperti apa,” katanya.
Agung menambahkan, pada prinsipnya tidak boleh ada peraturan yang mendiskriminasi warga berdasarkan agama yang dipeluknya. Toleransi antarumat beragama harus senantiasa dijaga. Sebab, upaya penguatan persatuan dan kesatuan bangsa termasuk kebijakan prioritas Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X.
”Yang jelas, memang sebetulnya tidak ada aturan mana pun yang menjadikan diskriminatif. Terlebih lagi, kita mengupayakan kebinekaan. Tidak ada sebuah aturan yang bisa mendiskriminasi,” katanya.
Menurut Agung, keberadaan peraturan yang melarang pendatang beragama selain Islam untuk tinggal di Pleret, Bantul, DIY, hendaknya dikaji kembali. Informasi yang diterimanya, peraturan itu baru sebatas surat keputusan kelompok kegiatan.
Pada tingkatan tersebut, peraturan itu tidak bisa membatasi warga berdasarkan wilayah desa atau dusun. ”(Peraturan) Itu bukan peraturan pemerintah. Hierarki peraturan itu adalah peraturan pemerintah dan peraturan desa. Larangan itu merupakan keputusan kelompok kegiatan, yang menurut hemat kami, secara normatif, hanya mengikat mereka yang tergabung dalam kegiatan itu,” katanya.
Sebelumnya, beberapa kasus berbau SARA muncul di Yogyakarta, di antaranya soal pemakaman warga yang dipersoalkan karena beda keyakinan. Selain itu, kekerasan fisik yang dilakukan seseorang di sebuah gereja di Kabupaten Sleman.