ENNY SRI HARTATI -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance
·4 menit baca
Salah satu persoalan ekonomi yang krusial dihadapi negara berpenduduk besar seperti Indonesia adalah pengangguran. Tidak mengherankan jika isu ini juga menjadi salah satu isu yang mengemuka dan bernuansa politis selama kontestasi Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2019. Semua kandidat berjanji dan meyakinkan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan dasar ini.
Sementara, kendati angka pengangguran terbuka setiap tahun menurun dan sekarang tinggal 5,34 persen, pengangguran terselubung masih sekitar 14 persen. Belum lagi tenaga kerja di sektor informal, masih sekitar 58 persen.
Dengan demikian, kunci utama penyelesaian masalah pengangguran sangat jelas, terutama ketersediaan lapangan kerja. Sektor yang berkontribusi menyerap tenaga kerja secara masif dan berkelanjutan tentu sektor industri, terutama industri pengolahan. Apalagi, sektor industri pengolahan juga berkontribusi dalam menciptakan nilai tambah perekonomian.
Pemangku kepentingan sepakat, industrialisasi merupakan sebuah keniscayaan sebagai penggerak utama dan akselator perekonomian. Sayangnya, membangun kesamaan visi, koordinasi, dan integrasi kebijakan untuk membangun industri yang berdaya saing masih menjadi tantangan berat. Komitmen dan dukungan yang marak untuk membangun industri 4.0 belum tentu mampu menjawab tujuan reindustrialisasi ini.
Selama puluhan tahun, tujuan ekspor Indonesia hanya terpaku pada pasar tradisional, yaitu ke negara-negara yang notabene merupakan negara industri. Pasalnya, Indonesia hanya mampu mengekspor komoditas sebagai bahan baku industri. Sebaliknya, Indonesia tak hanya memiliki ketergantungan impor produk industri, tetapi sekaligus memiliki ketergantungan bahan baku dan bahan penolong industrinya.
Anomali tersebut membuktikan, ada yang salah dengan kebijakan, arah, dan orientasi industrialisasi di Indonesia. Sebenarnya deindustrialisasi dini yang kian masif sudah lebih dari cukup untuk mengevaluasi ”kegagalan” kebijakan dan fokus industri di dalam negeri.
Ketika industri tidak mampu berkembang, artinya ketahanan dan daya saing industri lemah dan rapuh. Apalagi investasi baru semakin tidak ada yang tertarik masuk ke sektor manufaktur. Investor yang masuk hanya berkutat di sektor portofolio atau sektor jasa. Padahal, secara kalkulasi, ekonomi investasi di sektor industri justru berpotensi memberikan imbal hasil jangka panjang dan berkelanjutan.
Apalagi di negara dengan sumber bahan baku yang melimpah dan pasar yang besar seperti Indonesia. Sekali lagi, ketidaktertarikan investor itu lebih disebabkan berbagai kendala investasi dan tekanan ekonomi biaya tinggi di sektor manufaktur.
Menjawab tantangan
Oleh karena itu, arah kebijakan industri harus mampu menjawab tantangan tersebut. Setidaknya reindustrialisasi harus segera fokus pada beberapa industri andalan yang benar-benar memiliki daya saing. Pertama, memperkuat industri hulu. Indonesia harus berani menghentikan ekspor komoditas tambang, seperti mineral logam, kemudian membangun industri logam dasar dan baja, termasuk industri petrokimia.
Kedua, mempercepat hilirisasi industri. Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia mestinya memiliki keunggulan absolut untuk hilirisasi industri berbasis sawit. Tidak hanya terpaku pada pengembangan B20, tetapi juga dikembangkan untuk produk pangan, kimia, farmasi, dan sebagainya. Dengan demikian, ekspor Indonesia tidak akan terganggu kendati ada kampanye negatif dan hambatan terhadap ekspor sawit Indonesia.
Ketiga, insentif terhadap industri padat karya. Industri padat karya merupakan solusi konkret terhadap angka pengangguran di Indonesia. Tidak ada salahnya berbagai kemudahan, fasilitas, dan insentif investasi diberikan asal berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang besar untuk tenaga kerja Indonesia.
Keempat, industri substitusi impor. Tekanan defisit neraca perdagangan merupakan alarm dan lampu kuning terhadap perekonomian. Apalagi industri manufaktur yang berkembang di dalam negeri banyak yang tergantung pada bahan baku impor. Jika struktur ini tidak berubah, pertumbuhan sektor industri akan selalu didorong peningkatan impor, yang akan menciptakan tekanan yang semakin dalam bagi transaksi berjalan.
Untuk itu, dibutuhkan kesamaan visi dari seluruh pemangku kepentingan industri, terutama dalam menciptakan daya tarik investasi. Infrastruktur kawasan industri yang efisien dan logistik nasional yang terpadu mesti dipenuhi.
Ide membangun poros maritim jangan sekadar untuk mengurangi disparitas harga antardaerah. Namun, pelabuhan harus dapat menjadi sarana untuk mengembangkan potensi daerah melalui industrialisasi.
Untuk membangun konektivitas daerah pinggiran, daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan dapat dilakukan melalui koordinasi dan memanfaatkan pelabuhan badan usaha milik negara. Pelabuhan-pelabuhan khusus di daerah dapat dimaksimalkan untuk mendukung kebijakan tol laut.
Pelabuhan-pelabuhan khusus tersebut dapat mendukung jalur distribusi dan logistik, terutama untuk mendorong industrialisasi. Pelabuhan yang ada dapat diintegrasikan dan dioptimalkan. (ENNY SRI HARTATI, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance)