Agrikultur 4.0 Tak Melulu soal Teknologi
Berbekal ponsel pintar dalam genggaman tangan semua masalah manusia bisa dicari solusinya. Modalnya cukup dengan modal pulsa dan paket data. Di sektor agrikultur misalnya, petani turut memetik buah-buah keuntungan dari pohon digital.
Melalui aplikasi, petani bisa langsung menjual hasil tanahnya kepada konsumen atau pemilik toko tanpa mata-mata rantai distribusi yang memenggal keuntungan maksimal. Berbagai usaha rintisan (startup), yang teguh berkeinginan memperkuat para petani, menjadi pelopor.
Tengok saja Warung Pintar, penyedia aplikasi pemesanan barang jualan bagi toko dan gerai-gerai kecil. Pada akhir Februari 2019 lalu, Warung Pintar baru saja mengakuisisi Limakilo, usaha rintisan penyedia platform pembelian produk pangan oleh konsumen langsung dari petani.
“Warung-warung binaan Warung Pintar kebanyakan adalah toko yang menjual rokok, indomie, dan kopi sachet. Meskipun begitu, sudah ada permintaan dari warung-warung itu terhadap bahan makanan pokok seperti beras. Jadi, demand-nya sudah ada,” kata Brand Manager Warung Pintar Dista Mirta, Senin (1/4/2019).
Menurut Dista, pasokan beras dari Limakilo bisa membuat toko-toko binaan Warung Pintar lebih serba ada. Memanfaatkan jumlah warung pintar yang telah melampaui angka 1.300, Limakilo bisa memperluas cakupan distribusi beras. “Mereka bisa lebih cepat membuka akses pasar tanpa terlalu fokus pada akuisisi warung kelontong,” katanya.
Baca juga : Warung Pintar Ajak UMKM Semakin Sejahtera
Sebelumnya, Chief Executive Officer Limakilo Walesa Danto mengatakan, sebanyak 48 ton beras disalurkan dari petani langsung ke pembeli melalui 1.000 Kioskilo. Setelah akuisisi oleh Warung Pintar, Kioskilo berubah menjadi Warung Pintar. Target penjualan beras pun ditingkatkan menjadi 100 ton per tahun. Sebanyak 15 persen keuntungan Limakilo, kata Walesa, kembali ke petani binaan. (Kompas.id, 27 Februari 2019).
Warung Pintar menarget pencapaian 5.000 warung pintar di akhir tahun. Saat ini, baru ada sekitar 1.200 warung di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Raya, dan Bekasi (Jabodetabek) serta 101 warung pintar di Banyuwangi, Jawa Timur. Berbagai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) seperti PT Mitra Desa Pamarican (MDP), Ciamis, Jawa Barat.
“Dengan permintaan beras yang semakin tinggi, kesejahteraan petani juga akan meningkat. Ke depan, kami juga mau mencoba macam-macam komoditas lain, seperti bawang, gula, dan keripik-keripik pisang,” kata Dista.
Hal serupa juga dilakukan Rajatani.id. Usaha rintisan ini tidak hanya menyerap produk-produk petani ke pasar secara daring (dalam jaringan), tetapi juga mengolahnya menjadi produk bernilai tambah seperti gula aren dan kopi. Di samping itu, Rajatani juga pendampingan serta pelatihan dalam proses hulu hingga hilir pertanian.
Baca juga : Usaha Rintisan Gagal karena Persiapan Buruk
Direktur Utama Rajatani Agro Nusantara Anne Sri Arti beberapa waktu lalu mengatakan, petani memiliki keterbatasan wawasan sehingga kualitas tanaman menjadi kurang baik. Anne mencontohkan, produksi singkong menjadi rendah, di bawah 30 ton per hektar (Kompas.id, 28 Februari 2019).
Warung Pintar, Limakilo, dan Rajatani.id adalah sebagian dari sekitar 15 hingga 20 usaha rintisan yang bergerak di ranah pertanian. Bidang yang digeluti pun tidak hanya memotong rantai distribusi, tetapi juga pinjaman antarpihak dan investasi seperti Crowde dan Tanijoy. Ada juga platform penyedia informasi harga bahan pangan di pasar seperti RegoPantes, Simbah, dan Karsa.
Dihubungi terpisah, pengajar Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) Bob Hardian mengatakan, penerapan teknologi informatika dalam pertanian, atau agrikultur 4.0, semakin marak berkat kehadiran berbagai usaha rintisan. Perkembangan paling pesat terjadi di sektor perdagangan pangan secara elektronik (e-dagang).
Menurut Bob, adanya laman e-dagang menambah saluran penjualan bagi produk agrikultur yang tentunya menguntungkan petani. “Namun, agrikultur adalah sebuah ekosistem, ada konsumen, petani, pasar, pabrik, pupuk, tanah, dan sebagainya. Harus ada aplikasi yang menggunakan pendekatan platform yang mencakup semua bagian ekosistem itu. Sekarang sistemnya masih silo,” katanya.
Bob menambahkan, harga komoditas tidak hanya dipengaruhi permintaan dan penawaran, tetapi juga alam, cuaca, tanah, pupuk, dan sebagainya. Untuk membawa keuntungan maksimal bagi petani, laman e-dagang harus dilengkapi dengan internet of things.
Baca juga : Mungkinkah Tekfin “Peer-to-Peer Lending” Berakhir Seperti Es Kepal?
Jika tidak dimaksimalkan, petani akan terus menjadi korban, seperti saat harga gabah kering panen (GKP) di Jawa Tengah anjlok ke Rp 2.100, di bawah standar harga pembelian pemerintah Rp 3.700 pada awal 2018 lalu. Penyebabnya, hujan tidak mudah diprediksi.
“Berbagai sensor bisa dipasang di area pertanian, misalnya di tanah, begitu juga perkiraan cuaca. Karena itu, keputusan bisa diambil dengan presisi yang lebih tinggi. Produktivitas petani bisa meningkat,” kata Bob.
Siap, tapi waspada
Bagi petani, perubahan ke arah agrikultur 4.0 membawa berkah dalam hal pemasaran. Perubahan ini bertepatan dengan semakin familiernya generasi muda di perdesaan dengan teknologi ponsel pintar. Bahkan, ponsel telah menjadi pintu gerbang mengakses tutorial teknik bertani, misalnya di YouTube.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, kehadiran aplikasi e-dagang bagi produk agrikultur sangat membantu para petani. Tingkat kesiapan mereka pun sudah cukup untuk menggunakan aplikasi tersebut. Namun, aplikasi-aplikasi seperti Limakilo harus disikapi dengan waspada.
“Adanya berbagai teknologi ini tetap bisa diimbangi dengan penguatan kelembagaan eknomi petani, seperti koperasi-koperasi ptani. Kalau petani tidak berorganisasi, nantinya bisa terpecah-pecah dan malah terlalu tergantung pada perusahaan-perusahaan startup itu. Jangan sampai aplikasi ini jadi middleman (tengkulak) baru,” kata Henry.
Karena itu, saat ini SPI masih hanya berfokus pada pembentukan koperasi petani di seluruh Indonesia ketimbang mengintensifkan penggunaan aplikasi e-dagang. Henry mengatakan, sudah berdiri 1.000 koperasi SPI di seluruh Indonesia, tetapi hanya puluhan yang sudah berstatus hukum.
“Di Medan, misalnya, kami sudah punya kedai kopi milik koperasi SPI sendiri. Keuntungan dari kedai kopi itu akan dibagikan langsung kepada anggota koperasi. Beras pun juga kami jual langsung di koperasi,” kata dia.
Intinya, kata Henry, SPI menyambut baik kehadiran agrikultur 4.0. Namun, tetap dibutuhkan pelatihan teknologi yang lebih intensif sembari memperkuat institusi yang menaungi petani. Teknologi memang memudahkan dan membuka peluang untung yang lebih besar bagi petani. Namun, pemberdayaan bagi petani tetap diperlukan di segala lini.