Munculnya sejumlah masalah di TPST Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, membuat Pemerintah Daerah DIY terus mencari solusi jangka panjang untuk mengatasi persoalan sampah.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Munculnya sejumlah masalah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membuat Pemerintah Daerah DIY terus mencari solusi jangka panjang untuk mengatasi persoalan sampah. Salah satu alternatif yang tengah dikaji adalah menghadirkan teknologi pengolahan sampah melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha.
“Kita ingin agar timbunan sampah di sana (TPST Piyungan) berkurang supaya tempat itu bisa terus dimanfaatkan,” ujar Sekretaris Daerah DIY Gatot Saptadi, di Yogyakarta, Senin (1/4/2019).
Sebelumnya diberitakan, TPST Piyungan ditutup pada 24-28 Maret 2019 karena protes dari warga sekitar. Protes muncul karena adanya sejumlah masalah di TPST Piyungan, antara lain panjangnya antrean kendaraan pengangkut sampah. Panjangnya antrean itu menimbulkan berbagai masalah, terutama bau tak sedap. Selain itu, air dari sampah yang diangkut juga kerap menetes sehingga mengotori jalan.
Penutupan TPST Piyungan selama 5 hari itu mengakibatkan penumpukan sampah di tiga kabupaten/kota di DIY, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul. Di sisi lain, TPST Piyungan sebenarnya juga dinilai telah kelebihan beban (overload). Namun, karena ketiadaan lokasi lain untuk pembuangan sampah, TPST Piyungan tetap dioperasikan.
Gatot menyatakan, selama ini, sampah yang masuk ke TPST Piyungan tidak diolah secara memadai. Akibatnya, timbunan sampah yang beroperasi sejak tahun 1996 itu terus menumpuk. Saat ini, rata-rata ada 580 ton sampah dari Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul yang dibuang tiap hari ke TPST Piyungan.
“Sekarang kan masalahnya sampah itu numpuk di sana (TPST Piyungan). Numpuk dan tidak diapa-apakan, ya numpuk terus,” ungkap Gatot.
Menurut Gatot, Pemda DIY saat ini tengah membahas kemungkinan menghadirkan teknologi pengolahan sampah di TPST Piyungan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). KPBU merupakan kerja sama pemerintah dan pihak swasta dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum. “Proses KPBU tengah berjalan,” katanya.
Gatot menambahkan, dokumen untuk persyaratan KPBU itu ditargetkan selesai tahun ini. Setelah itu, pada tahun 2020, proses KPBU dilanjutkan dengan penawaran ke badan usaha yang berminat. “Di KPBU nanti itu akan ditawarkan ke pihak swasta, lalu pihak swasta akan unjuk diri, mereka punya teknologi apa,” tuturnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY Sutarto menyatakan, saat ini, pihaknya juga tengah bernegosiasi dengan sebuah perusahaan produsen semen untuk menghadirkan teknologi pengelolaan sampah di TPST Piyungan. Teknologi tersebut diharapkan bisa mengolah sampah menjadi bahan bakar untuk pabrik semen. “Kita memang harus bicara pengelolaan sampah dengan teknologi tinggi,” ujar dia.
Sutarto mengakui, TPST Piyungan sebenarnya telah overload atau kelebihan beban. Hal ini karena jumlah ruang yang tersisa di TPST seluas 12,5 hektar (ha) itu tidak sebanding dengan jumlah sampah yang dibuang ke sana.
Selain itu, jumlah anggaran, sumber daya manusia (SDM), dan peralatan untuk mengelola TPST Piyungan dinilai masih terbatas. Sutarto memaparkan, tahun ini, anggaran Dinas LHK DIY untuk pengelolaan TPST Piyungan hanya sekitar Rp 9 miliar. Anggaran itu digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya mengoperasikan alat berat, pengadaan tanah urug, perbaikan jalan, dan membayar tenaga outsourcing.
Adapun jumlah SDM di TPST Piyungan hanya 46 orang, terdiri dari 12 orang aparatur sipil negara (ASN) dan 34 tenaga outsourcing. Sementara itu, jumlah alat berat untuk menata sampah di TPST Piyungan hanya ada empat unit. “Jadi, masih terbatas,” kata Sutarto.