Bogor ”Kota Pusaka” yang Dilupakan Warganya
Sejumlah penanda jalan di satu sudut Kota Bogor mengarahkan dugaan pada pusat kerajaan Pakuan Pajajaran. Sayangnya, urusan peninggalan bersejarah ini kerapkali terlupakan. Perawatannya pun terkesan seadanya.
Sejumlah penanda jalan di satu sudut Kota Bogor mengarahkan dugaan pada pusat kerajaan Pakuan Pajajaran. Sayangnya, urusan peninggalan bersejarah ini kerap kali terlupakan. Perawatannya pun terkesan seadanya.
Taman Batu Tulis, begitu nama di bidang segitiga yang ditanami beberapa tanaman hias yang kalah tinggi daripada rumput liar. Beberapa bagian tembok taman, yang juga menjadi pembatas dengan badan jalan, hancur. Mungkin tembok itu tertabrak mobil yang parkir di sisi tembok. Reruntuhan tembok bercampur sampah plastik dan spanduk alat peraga kampanye bertiang bambu yang ambruk di situ.
Kondisi yang miris itu berbeda dibandingkan dengan pemandangan di lokasi taman itu, sekitar 30 tahun silam.
”Sampai 1980-an, udara dan pemandangan di sini sangat indah. Dari tempat duduk sekarang ini bisa langsung lihat Gunung Salak, datang-pergi kabutnya terlihat jelas,” kata Dodi (46), pemilik Rumah Makan Purwakalih di Jalan Lawang Gintung. Rumah makan itu berdampingan dengan Situs Arca Purwakalih, berada di seberang Taman Batu Tulis.
Sekarang pemandangan itu terhalang kios atau rumah yang tidak beraturan di sisi Jalan Lawang Gintung dan Jalan Saleh Danasasmita. Satu jalan lagi yang membentuk pertigaan itu adalah Jalan Batu Tulis.
Menyebut ”Batu Tulis”, ingatan langsung ke Kerajaan Pakuan Pajajaran, kerajaan Hindu di Tanah Pasundan. Sekitar 200 meter dari taman itu, di Jalan Batu Tulis, terdapat batu setinggi 115 sentimeter bertulis aksara Sunda Kawi (Pallawa), Prasasti Batu Tulis. Prasasti mengisahkan mangkatnya Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja tahun 1521. Di prasasti itu ada telapak kaki di batu yang diduga telapak kaki Prabu Surawisesa, anak dan penerus Prabu Siliwangi, atau Raja ke-7 Pakuan Pajajaran.
Di seberang taman, di Jalan Lawang Gintung, terdapat Situs Arca Purwakalih.
Dalam buku Sejarah Bogor (1983), karya Saleh Danasasmita, Situs Purwakalih disebut Situs Purwa Galih dengan tiga arca, yaitu Purwa Galih, Gelap Nyawang, dan Kidang Pananjung tanpa kepala karena diduga dihancurkan tentara Demak yang menyerbu Pajajaran.
Posisi tangan arca mengindikasikan itu arca Hindu dan tiga nama itu muncul juga dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang tahun 1816 pada masa Pangeran Kornel. Warga lokal mengatakan situs itu makam keramat dari seorang panglima Prabu Siliwangi.
Gapura keraton
Terkait nama Lawang Gintung, menurut budayawan Eman Soelaeman dalam Toponimi Bogor (2003), antara lain karena di kawasan itu dulunya ada pintu berbentuk gapura beratap untuk masuk ke halaman keraton Pakuan Pajajaran. Pada kanan pintu masuk gapura itu tumbuh pohon Gintung.
Versi lain, kata Eman, di sana ada gerbang pintu yang buka-tutupnya dengan cara daun pintu ditarik ke atas dengan bantuan tali.
Satu jalan lagi yang membentuk pertigaan Taman Batu Tulis itu adalah Jalan Saleh Danasasmita. Almarhum Saleh Danasasmita, yang makamnya ada di TPU Dredet Kota Bogor, adalah sejarawan dan budayawan. Ia menulis 16 buku, termasuk Sejarah Bogor yang menjadi acuan hingga kini. Buku itu antara lain membahas lokasi atau wilayah kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Pusat keraton diperkirakan di kawasan Batu Tulis atau Lereng Cipaku, dengan alun-alun terluarnya di kawasan Empang, di Bogor Selatan, serta lengkap dengan parit atau sungai sebagai bagian dari pertahanan wilayahnya.
Jadi, tiga jalan yang bertemu di pertigaan Taman Batu Tulis itu, yaitu Jalan Batu Tulis, Lawang Gintung, dan Saleh Danasasmita, mengandung makna kepusakaan Kota Bogor.
Menurut Konselor Konsil Kota Pusaka Bogor Dayan A Layuk, kawasan itu patut diduga sebagai lokasi istana atau pusat pemerintahan Kerajaan Pakuan Pajajaran.
”Lokasinya strategis, di dataran tinggi dengan lembah atau lereng serta sungai untuk pertahanan. Pemandangan Gunung Salak yang membentang juga bisa dilihat dari situ sehingga masuk akal kalau wilayah itu dipilih sebagai lokasi kediaman raja-raja,” katanya.
Banyak situs sejarah, yang diduga peninggalan Kerajaan Padjajaran sampai penjajahan Jepang, dijumpai di area ini.
Namun, kawasan bersejarah itu seperti dilupakan. Sejumlah bukti sejarah atau situs cagar budaya malah ada yang dirusak. Penamaan Jalan Saleh Danasasmita pun tidak membuat semua pihak sadar akan sejarah Bogor.
”Banyak pihak selalu mengatakan Kota Bogor merupakan kota pertemuan dan alkuturasi berbagai budaya dan ras. Toleransi terjadi sejak lama. Akan tetapi, kalau kita bicara tentang budaya Sunda atau kesundaan yang mewakili jati diri Sunda, Jawa Barat, bingung. Yang ada, budaya Sunda khas daerah masing-masing, yang ’sulit’ disatukan sebagai Sunda Jawa Barat,” kata Dayan.
Di Kota Bogor, lanjut Dayan, ketika bicara ”kawasan permukiman Sunda”, tidak ada lokasi pastinya. Sementara ada kawasan permukiman Pecinan, kawasan permukiman Arab, dan kawasan permukiman Eropa, yang akan dikembangkan Pemerintah Kota Bogor sebagai kawasan atau destinasi wisata andalan.
Ada baiknya mempertimbangkan kawasan ditemukan situs peninggalan masa Kerajaan Pajajaran menjadi kawasan permukiman Kesundaan dengan menggali lebih jauh lagi tentang sejarah Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang merupakan kerajaan besar pada masanya di Jawa Barat, yang pusat pemerintahannya di Kota Bogor.
”Kalau kejayaan Kerajaan Pakuan Pajajaran dapat diungkap, digali lebih mendalam peninggalannya yang sudah ditentukan, ’kawasan permukiman Kesundaan’ di Kota Bogor dapat menjadi destinasi wisata baru dan rujukan ketika bicara tentang kesundaan Jawa Barat, sebagaimana orang Jawa memiliki Jogja dengan keratonnya,” kata Dayan.
Ini menjadi penting karena Kota Bogor sejak 2011 menjadi satu dari 12 kota yang awal-awal masuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Pada 2013, dengan bantuan Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, Bappeda Kota Bogor membuat perencanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka Kota Bogor, di mana dari situ teridentifikasi profil kawasan pusaka, di antaranya kawasan Kebun Raya Bogor (KRB) dan Istana Bogor, permukiman Eropa, kawasan Empang, kawasan Karsten Plan, dan kawasan Pecinaan.
Menurut Dayan, Kota Bogor memang sangat layak dan harus menjadi ”Kota Pusaka”. Dari kawasan-kawasan pusaka itu banyak yang dapat dipelajari dan diambil hikmah serta manfaatnya untuk masa kini dan mendatang, yang memperkuat jati diri masyarakat Bogor dalam memahami kota dan masyarakatnya untuk hidup lebih nyaman dan bahagia.
Bicara tentang KRB itu merujuk bagaimana Bogor akhirnya menjadi kota yang didatangi beberapa peneliti dan ilmuwan dari sejumlah negara, dan KRB menjadi kebun raya tertua kedua di dunia setelah kebun raya di Inggris. Mengamati bangunan di kawasan permukiman Eropa, antara lain belajar bagaimana menyelaraskan pembangunan fisik (baik untuk rumah maupun infrastruktur) yang beradaptasi dengan kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi tropis.
Bagaimana arsitektur Eropa bisa berkolaborasi dengan arsitektur Indonesia sehingga mewujudkan permukiman yang nyaman dan cantik.
Berada di permukiman Pecinan di Jalan Suryakancana, yang merupakan bagian Jalan Raya Daendels, alkuturasi ekonomi masyarakat lokal dan peranakan Tionghoa sejak dulu hingga kini saling menghidupkan. Bagaimana Thing Tjoen Pok menyerahkan lahannya untuk menjadi pasar rakyat, Thung Theng Hiang membangun sekolah yang menjadi cikal bakal masyarakat Bogor sadar pentingnya bersekolah.
Thung Theng Hiang ini virokog (ahli virus) yang berteman Bung Hatta melakukan pergerakan melawan kolonialisme.
Di kawasan Empang, atau permukiman Arab, dapat dipelajari bagaimana alkuturasi orang Sunda dengan orang Arab. Keberadaan Masjid Jami Kauman Empang di sana, yang merupakan masjid tua di Bogor, cikal bakal keislaman berkembang di Bogor.
Menurut Dayan, hal yang dilupakan masyarakat adalah Kota Bogor merupakan kota pengengembangan pusaka kententraan Indonesia. Di kota ini dibentuk KNIL yang kemudian menjadi cikal bakal PETA (tentara pelajar). Begitu juga pembentukan tentara zeni dan kaveleri, sebelum kemudian dipindah ke Bandung untuk pengembangannya.
”Masyarakat juga lupa bahwa di Kota Bogor merupakan kota pusaka ilmu pengetahuan. Di sini ada pusat-pusat penelitian botani, satwa, dan geologi, serta ada museum-museumnya,” kata Dayan.
Terabaikan situs-situs sejarah terkait Kerajaan Pakuan Pajajaran, juga pusaka-pusaka lainnya, tidak lain karena masyarakat tidak memahami kebesaran dan pengaruh pusaka-pusaka itu dari masa ke masa, dan pemaknaannya sekarang. Sama halnya dengan hilangnya bangunan cagar budaya atau penanda kota di kawasan-kawasan pusaka tadi karena kurang pemahaman masyarakat akan pentingnya nilai-nilai sosial budaya ekonomi.
Pemilik bangunan, baik perorangan maupun lembaga, dan masyarakat, tidak mengerti mengapa mereka harus melestarikan bangunan atau kawasan tersebut.
Rachmat Iskandar, Konselor Konsil Kota Pusaka Bogor, mengatakan, sejak masih menjadi pengawas Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor beberapa tahun lalu, ia sudah mendokumentasikan sekitar 300 bangunan cagar budaya atau teridentifikasi cagar budaya di Kota Bogor.
”Sebagian besar bangunan yang saya identifikasi itu sudah tidak akibat tidak ada perhatian dari pihak-pihak terkait,” kata Rachmat yang tengah mempersiapkan diri mengikuti ujian sertifikasi sebagai ahli cagar budaya.
Sampai saat ini, baru 16 bangunan di Kota Bogor yang ditetapkan resmi menjadi cagar budaya. Resmi dalam pengertian ada surat keputusannya, dalam hal ini SK Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan RI, pada tahun 2007.