JAKARTA, KOMPAS — Kasus pengajuan klaim jaminan sosial hari tua cenderung makin tinggi. Situasi itu diduga dipicu oleh tren hubungan kerja yang semakin rentan yang ditandai kemunculan kontrak, mandiri, dan bagi hasil.
Kepala Divisi Komunikasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja di Jakarta, Jumat (29/3/2019), menggambarkan, pada 2017 tercatat 1,87 juta kasus klaim jaminan hari tua (JHT). Setahun berikutnya, BPJS Ketenagakerjaan mencatat ada kenaikan 2 persen atau menjadi 1,91 juta kasus.
Alasan dominan pengajuan klaim adalah pekerja mengundurkan diri dari perusahaan. Sepanjang tahun 2018, misalnya, rekaman data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan, 76 persen dari total pengajuan klaim disebabkan alasan pengunduran diri, 17 persen terkena pemutusan hubungan kerja, 3 persen usia pensiun, 1,5 persen meninggal, dan 2,5 persen sisanya sebab lain.
Pengambilan JHT sewajarnya adalah setelah pensiun.
Dia mengatakan, regulasi JHT memperbolehkan pekerja mengajukan pencairan klaim saat sudah tidak bekerja lagi dan tidak harus memasuki masa tua pensiun. Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Pengajuan pencairan klaim segera melonjak setelah dua peraturan itu diundangkan pada Agustus 2015. BPJS Ketenagakerjaan mencatat pernah menerima sekitar 7.500 kasus pengajuan klaim JHT per hari selama kurun waktu November 2015-Maret 2016.
Analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, berpendapat, hubungan kerja seperti kontrak jangka pendek, mandiri, dan bagi hasil menjadi tren kekinian dan masa depan. Tren ini tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tidak membuat kebijakan yang semakin mendorong ekskalasi pengambilan JHT dini. ”Pengambilan JHT sewajarnya adalah setelah pensiun,” katanya.
Rekson memandang peraturan pelaksana pembayaran manfaat jaminan hari tua dicabut. Selain tidak pas dengan kondisi ketenagakerjaan, peraturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. UU itu menyebut pencairan JHT dilakukan setelah pensiun.
Menurut Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar, ada pembiaran dari negara terhadap hubungan kerja yang semakin rentan. Pekerja dihadapkan pada situasi seperti tidak memiliki pilihan lain selain harus mencairkan dana JHT demi segera menyambung hidup.