Perebutan suara di daerah pemilihan Sulawesi Tenggara akan diwarnai pertarungan ketat para petahana, tokoh politik lokal, anggota dinasti politik lokal, serta wajah-wajah baru. Mereka akan memperebutkan kursi di dapil yang termasuk penghasil nikel terbesar di Indonesia itu. Namun, dapil ini juga masih menyisakan proporsi orang miskin yang cukup tinggi.
Pemilu Legislatif 2019 di dapil ini diikuti 80 calon anggota legislatif. Para caleg yang baru akan bersaing melawan 17,5 persen caleg wajah lama yang terdiri dari 4 petahana dan 8 caleg yang ikut dalam Pileg 2009 dan/atau Pileg 2014. Adu kekuatan jaringan politik di dapil ini bertambah sengit dengan keikutsertaan enam mantan kepala daerah serta anggota dinasti politik lokal.
Dari enam mantan kepala daerah yang ikut bertarung, lima orang adalah mantan bupati yang menjabat dua periode. Kelimanya adalah H Imran (Bupati Konawe 2005-2015), Hugua (Bupati Wakatobi 2006-2016), Ridwan Bae (Bupati Muna 2000-2010), LM Sjafei Kahar (Bupati Buton 2001-2011), dan Rusda Mahmud (Bupati Kolaka Utara 2007-2017).
Ridwan Bae selepas menjabat Bupati Muna masuk Senayan periode 2014-2019. Sementara Sjafei Kahar dan Rusda Mahmud mengikuti perebutan kursi gubernur-wakil gubernur Sultra 2018, tetapi keduanya gagal. Hanya M Saleh Lasata yang pernah menjabat Wakil Gubernur Sultra 2008-2017.
Medan pertarungan popularitas dan kekuatan jaringan politik di dapil ini juga diikuti beberapa perempuan anggota dinasti politik lokal. Tina Nur Alam yang merupakan istri Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara 2008-2017, bersaing dengan Syamsuriati, istri Musadar Mappasomba, Wakil Wali Kota Kendari 2007-2017, dan Nirna Lachmuddin, istri Ketua DPC PDI-P Kota Kendari Ishak Ismail.
Dalam beberapa kali pemilihan pemimpin daerah, ketokohan lebih diutamakan oleh masyarakat Sultra sehingga partai politik belum menjadi mesin penggerak utama suara masyarakat. Hal itu terbukti dari berganti-gantinya partai politik yang menang pada Pemilu 2009 dan 2014. Pada 2009, Partai Demokrat menguasai dapil ini dengan 207.497 suara. Namun, pada Pileg 2014, PAN unggul dengan perolehan 271.231 suara.
Kekayaan dapil ini salah satunya didapat dari berkembangnya pertambangan nikel yang merupakan potensi utama sektor pertambangan Sultra. Pada 2013, produksi bijih nikel mencapai 29,4 juta ton atau 44 persen total produksi bijih nikel nasional. Sentra nikel di Sultra terdapat di lima dari 17 kota/kabupaten, yaitu Kabupaten Konawe Utara, Konawe, Kolaka, Kolaka Utara, dan Bombana.
Meski kaya akan potensi tambang, kesejahteraan masyarakat Sultra masih tertinggal. Tingkat kemiskinan masyarakat pada 2017 masih tinggi, yaitu 14,17 persen, di atas tingkat kemiskinan nasional yang 11,2 persen. Skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sultra juga hanya 67,58, di bawah IPM nasional yang 69,88.
Paradoks itu bisa jadi berkaitan dengan sejumlah kasus korupsi yang menjerat beberapa kepala daerah di dapil ini. Aswad Sulaiman (Bupati Konawe Utara 2011-2016), Nur Alam (Gubernur Sultra 2008-2017), Adriansyah (Bupati Tanah Laut 2003-2008), Asrun (Wali Kota Kendari 2007-2017) dan anaknya, serta Adriatma Dwi Putra (Wali Kota Kendari 2017) merupakan para kepala daerah di Sultra yang tersandung korupsi dalam sektor pertambangan.
Kondisi ini menunjukkan kekayaan alam belum digunakan untuk memakmurkan rakyat di dapil ini. Bisa jadi para elite politik yang bertarung di Pileg 2019 ini juga belum akan banyak mengubah paradoks di dapil ini. (LITBANG KOMPAS)