Membawa Gagasan dari Debat Pilpres 2014 ke Pilpres 2019
Oleh
·4 menit baca
Kedua pasangan calon presiden memiliki beberapa kesamaan gagasan pada Pemilu 2014 lalu. Gagasan tersebut beberapa di antaranya kembali dilontarkan pada visi misi tahun ini, khususnya pada bidang ideologi, pemerintahan, pertahanan keamanan, dan hubungan internasional. Bagaimana relevansi gagasan tersebut dengan situasi saat ini?
Lima tahun silam dalam debat yang menyinggung konteks ideologi, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto menyatakan bahwa Pancasila mutlak untuk dipertahankan. Keduanya saat itu juga saling mengunggulkan pengalaman terhadap kaum minoritas. Jokowi memberi contoh pengangkatan Susan Jasmine Zulkifli sebagai Lurah di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sementara Prabowo memberi contoh pemilihan kader partainya saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, untuk maju sebagai wakil gubernur DKI Jakarta.
Kini, dalam bidang ideologi, Jokowi dalam visi misinya mengedepankan optimalisasi fungsi dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila. Sementara Prabowo menaruh perhatian pada pendidikan tentang ekonomi Pancasila.
Pada bidang pemerintahan, gagasan yang muncul dari kedua capres dalam debat 2014 lalu berkutat pada penggunaan teknologi informasi dan sistem pemerintahan yang terbuka. Kedua gagasan ini kembali muncul dalam visi misi kedua calon presiden pada tahun ini.
Jokowi menawarkan cita-cita pemerintahan yang berbasis sistem elektronik. Lima tahun lalu, penerapan e-budgeting maupun e-procurement juga digaungkan. Hal baru yang dimunculkan adalah pengembangan tempat kerja berbasis teknologi informasi.
Hal yang sama juga dilontarkan Prabowo lima tahun lalu, yakni penggunaan teknologi informasi yang baru dalam sistem pemerintahan. Kini, Prabowo tetap menawarkan hal yang sama dengan memasukkan penerapan smart government dalam visi misinya.
Di bidang pertahanan dan keamanan, baik Jokowi maupun Prabowo memiliki gagasan yang relatif sama untuk memperkuat industri keamanan dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) pada 2014 lalu. Saat itu, kedua capres menaruh perhatian pada kelengkapan alutsista di dalam negeri.
Salah satu gagasan yang disampaikan Jokowi lima tahun silam adalah modernisasi industri dan alat-alat pertahanan. Kini, gagasan tersebut kembali dilontarkan. Salah satu program yang ditawarkannya adalah pengembangan industri pertahanan untuk menuju tahap kemandirian pemeliharaan, produksi, dan inovasi. Pengembangan sistem keamanan siber juga turut menjadi fokus.
Persamaan gagasan yang kembali disinggung oleh Jokowi adalah kesejahteraan prajurit. Pada debat 2014 lalu, hal ini juga menjadi salah satu fokus dari Jokowi untuk membangun ketahanan nasional.
Sementara Prabowo pada debat 2014 lalu menaruh perhatian pada pentingnya kekuatan ekonomi dalam negeri sebagai modal ketahanan nasional. Kini, pada bidang yang sama, Prabowo menyasar pada upaya peningkatan kemampuan industri di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan alutsista. Selain itu, pengembangan kapabilitas badan pertahanan siber juga menjadi pembeda pada visi misi kali ini.
Pentingnya anggaran dalam bidang pertahanan juga kembali disinggung oleh Prabowo pada visi misinya. Program yang ditawarkan adalah peningkatan jumlah anggaran pertahanan setiap tahunnya. Anggaran ini nantinya akan digunakan untuk memperkuat pertahanan nasional dan modernisasi alutsista.
Di bidang hubungan internasional, perlindungan tenaga kerja asing di luar negeri menjadi salah satu sorotan utama kedua capres dalam debat 2014 lalu. Bagi Jokowi, seleksi, pelatihan, hingga pengawasan pekerja migran oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia menjadi program yang ditawarkan saat itu. Hal senada juga disinggung oleh Prabowo seperti program seleksi, pendidikan, dan sertifikasi. Gagasan ini bermuara pada perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Perlindungan tenaga kerja asing di luar negeri menjadi salah satu sorotan utama kedua capres dalam debat 2014 lalu.
Sayangnya, program perlindungan bagi pekerja migran belum dijelaskan secara terperinci pada dokumen visi misi kedua capres dalam Pemilu 2019. Pada visi misi Jokowi, program yang ditawarkan adalah perlindungan bagi tenaga kerja di sektor informal, termasuk pembenahan pelayanan, kualitas buruh migran, hingga perlindungan bagi buruh migran secara terintegrasi. Sementara Prabowo fokus pada penghentian kebijakan tenaga alih daya atau outsourcing serta pengutamaan tenaga kerja lokal dalam pembukaan lapangan pekerjaan baru.
Relevansi gagasan
Menilik dari program pada bidang pemerintahan, pengulangan gagasan yang sama dari kedua capres pada Pemilu 2014 dan 2019 membuktikan bahwa permasalahan ini telah mengakar dan perlu segera diselesaikan. Hal ini tecermin dalam Indeks Persepsi Korupsi 2018 lalu yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-89 dari 180 negara.
Hal lainnya yang perlu menjadi perhatian utama adalah pada bidang ideologi. Jika lima tahun lalu kedua paslon beradu gagasan tentang kebhinekaan, kini persatuan Indonesia justru sedang diuji. Menurut data dari Polri, konflik SARA sepanjang 2015-2016 mencapai 1.568 kejadian. Bahkan, semenjak pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, politik identitas terus digunakan. Dampaknya masih terasa hingga kini dan mengoyak rasa persatuan.
Jika lima tahun lalu kedua paslon beradu gagasan tentang kebhinekaan, kini persatuan Indonesia justru sedang diuji.
Pada bidang industri pertahanan dan alutsista, program kedua capres juga masih relevan dengan sejumlah persoalan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Pasalnya, impor alutsista masih dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sektor pertahanan dalam negeri. Untuk itu, pengembangan industri pertahanan menjadi salah satu solusi yang perlu diterapkan.
Sementara pada bidang hubungan internasional, isu tenaga kerja Indonesia di luar negeri masih layak untuk dikedepankan. Pasalnya, penempatan pekerja migran Indonesia mengalami kenaikan dalam tiga tahun terakhir.
Menurut data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, jumlah penempatan pekerja migran Indonesia tahun 2018 lalu mencapai 283.640 orang. Jumlah ini meningkat 21 persen dibandingkan tahun 2016. Dari jumlah ini, 53 persen di antaranya merupakan pekerja informal yang tentunya membutuhkan perlindungan. (Dedy Afrianto/Ida Ayu Grhamtika Saitya/Litbang Kompas)