Metode Tingkat Lanjut Harus Prioritas
JAKARTA, KOMPAS — Metode pengurasan minyak tingkat lanjut harus menjadi prioritas di Indonesia. Upaya agar metode ini diprioritaskan didasari semangat Indonesia mengurangi ketergantungan impor minyak.
Sejak 2004, Indonesia sudah berstatus sebagai negara pengimpor bersih minyak mentah. Itu karena produksi dalam negeri jauh di bawah konsumsi harian nasional.
Kepala Divisi Teknologi dan Pengembangan Lapangan pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Benny Lubiantara menyampaikan, proyek pengurasan minyak tingkat lanjut (enhanced oil recovery /EOR) adalah proyek jangka panjang yang hasilnya tidak bisa diraih dalam waktu singkat. Akibatnya, EOR belum diprioritaskan kontraktor kontrak kerja sama di Indonesia. Apalagi, pengembangan EOR dibayangi isu keekonomian.
”Jadi, bagaimana agar EOR bisa jadi prioritas? Harus dilatarbelakangi semangat membangun ketahanan energi nasional. Kurangi ketergantungan terhadap impor. Dengan demikian, EOR akan menjadi program prioritas nasional,” kata Benny dalam seminar tentang pengembangan EOR, Rabu (27/3/2019), di Jakarta.
Menurut Benny, ada 129 lapangan yang berpotensi dapat menerapkan penggunaan EOR. Adapun potensi minyak mentah yang bisa dikuras dengan metode itu sebanyak 3,9 miliar barel.
Tantangan
Namun, ia mengakui, penerapan EOR akan menghadapi tantangan. ”Tantangan setiap kontraktor berbeda-beda untuk penerapan EOR, seperti lamanya periode kontrak, ketersediaan infrastruktur perusahaan, ataupun kebijakan fiskal yang berlaku,” ujar Benny.
Penerapan EOR akan menghadapi tantangan.
Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Leti Brioleti, menambahkan, penerapan EOR harus melalui persiapan matang. Salah satunya, melalui rangkaian uji coba di laboratorium. Uji coba penggunaan bahan kimia pada EOR tak cukup satu kali.
EOR Manager Medco EP Indonesia Puti Permata mengatakan, pengembangan EOR sangat bergantung pada keandalan pasokan bahan kimia. Medco adalah salah satu perusahaan migas swasta nasional yang sudah menerapkan penggunaan EOR di Blok Rimau, Sumatera Selatan. Kajian EOR di blok tersebut dilakukan 2004-2005 dan perlu lima tahun untuk mengeksekusi penggunaan EOR dengan bahan kimia.
”Dari semua komponen biaya operasi, porsi biaya bahan kimia yang dipakai pada metode EOR merupakan yang terbesar. Tetapi, jika penggunaannya tepat, hasilnya positif,” kata Puti.
Selain Medco, PT Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero), juga mengandalkan metode penyuntikan air dan bahan kimia untuk menaikkan produksi minyak di lapangan-lapangan tua. Perusahaan menghadapi tantangan produksi yang kian merosot pada lapangan-lapangan minyak yang berusia di atas 50 tahun.
Pengurasan minyak dengan metode penyuntikan air (water flood) atau dengan bahan kimia adalah bagian dari metode EOR. Penerapan EOR dengan sistem water flood sudah diterapkan di sejumlah wilayah operasi Pertamina EP, seperti Kuala Simpang Barat, Aceh. Di wilayah itu, produksi minyak naik menjadi 107 persen atau 2.495 barel per hari dan gas naik 142 persen menjadi 3,91 juta standar kaki kubik per hari pada 2017.
Sementara itu, menurut pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, EOR dan eksplorasi adalah dua elemen kunci sektor hulu migas yang harus berjalan bersama. Lantaran keduanya sama-sama berisiko tinggi, termasuk butuh investasi besar, dibutuhkan insentif agar keduanya berkembang. Insentif itu bisa meliputi fiskal ataupun skema bagi hasilnya.
”Sebagian besar investor hulu migas memilih risiko bisnis yang rendah. Dengan risiko yang sedemikian besar, sejauh mana iklim investasi hulu migas Indonesia menarik bagi pengembangan EOR? Jadi, perlakuannya sebaiknya disamakan dengan eksplorasi,” kata Pri Agung.
Berdasarkan data produksi siap jual (lifting) minyak 2018, kemampuan di dalam negeri hanya sebanyak 778.000 barel per hari. Padahal, kebutuhan bahan bakar minyak nasional mencapai 1,5 juta barel-1,6 juta barel per hari. Sisanya harus diimpor dan menjadi penyebab defisit neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. (APO)