JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan pelaku usaha mengkaji dokumen konstitusi dan melakukan lobi bisnis untuk mempertahankan pasar kelapa sawit di Uni Eropa. Industri sawit dinilai penting bagi Indonesia karena menjadi gantungan hidup sekitar 19,5 juta penduduk.
Dokumen hukum yang akan dikaji antara lain dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Uni Eropa (UE). ”Konstitusi yang berlaku perlu diidentifikasi untuk menentukan strategi,” kata Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Penguatan Program-program Prioritas Peter F Gontha dalam seminar pengembangan industri kelapa sawit yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Identifikasi itu berguna untuk mencari benang merah antara nilai-nilai yang ada di konstitusi dan alasan untuk mempertahankan minyak kelapa sawit mentah (CPO). Peter mencontohkan, konstitusi UE sarat dengan pemberantasan kemiskinan dan hak asasi manusia (HAM). Dengan nilai itu, seharusnya CPO dapat diterima di pasar UE karena kesejahteraan 19,5 juta penduduk Indonesia bergantung pada industri kelapa sawit.
Hadir sebagai narasumber seminar antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Dono Boestami, dan Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo.
Menurut Luhut, sektor perkebunan dan industri sawit selama ini berkontribusi besar bagi upaya menanggulangi kemiskinan, selain program dana desa. Penanggulangan kemiskinan dan ketahanan pangan sudah menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan PBB.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia membawa dinamika terkait dengan kelapa sawit di UE ke WTO. Pada 13 Maret 2019, Komisi Eropa, organ eksekutif UE, mengeluarkan aturan pelaksanaan (delegated act) dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II).
Di dokumen itu, perkebunan sawit dinilai telah menyebabkan deforestasi besar-besaran secara global. Oleh karena itu, UE berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis CPO hingga 0 persen tahun 2030.
Joko berpendapat, UE memiliki pemahaman hutan dan deforestasi yang sangat berbeda dengan Indonesia sehingga tidak ada titik temu. UE memahami deforestasi sebagai perubahan dari area tutupan pepohonan jadi area bukan tutupan pepohonan. ”Di Indonesia, pemahaman hutan lebih pada status kawasan,” katanya.
Luhut menambahkan, pemerintah tengah menginventarisasi barang-barang yang diimpor dari negara-negara UE terkait dengan rencana retaliasi atau tindakan balasan. Strategi taktis yang berupa keputusan pemerintah masih menunggu pembahasan di Parlemen UE. Jika Parlemen UE setuju, Pemerintah Indonesia akan langsung bertindak.
Menurut Agus, pers harus tetap kritis terhadap industri sawit. Namun, aspek lain harus dipertimbangkan dalam pemberitaan, yakni kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat.
Dampak sosial
Koordinator Penelitian dan Pengembangan Jaringan Pekerja/Buruh Sawit Indonesia Andy William Sinaga mengatakan, diskriminasi sawit atau minyak sawit mentah Indonesia di UE memiliki dampak sosial ekonomi.
Apalagi jumlah pekerja langsung ataupun tidak langsung yang terlibat dalam proses produksi sawit dari hulu ke hilir di Indonesia tidak sedikit. Menurut dia, totalnya mencapai 17 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung.
”Angka itu baru bicara jumlah pekerjanya, belum menghitung anggota keluarga yang mereka tanggung,” kata Andy William Sinaga yang juga Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia ketika dihubungi pada Rabu (27/3/2019).
Menurut Andy, terancamnya nasib 17 juta pekerja yang berkecimpung di usaha sawit pada akhirnya akan menyentuh isu kemiskinan. Kebijakan diskriminatif terhadap sawit akan meningkatkan angka kemiskinan seiring hilangnya pekerjaan dan jaminan sosial bagi para pekerja sawit.
Padahal, salah satu prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) adalah mereduksi kemiskinan. ”Apalagi SDG’s ini pun merupakan kesepakatan internasional di bawah naungan PBB. Negara-negara Eropa, kan, mendukung sekali dan mendorong agar prinsip-prinsip SDG’s dijalankan oleh negara-negara anggota PBB,” ujar Andy.
Pemerintah Indonesia dinilai perlu memanggil para duta besar negara UE untuk menjelaskan faktor dan dampak sosial ekonomi terkait dengan produk sawit Indonesia. Pemerintah juga perlu melakukan tindakan balasan apabila kebijakan yang diskriminatif tetap disepakati di Uni Eropa. (JUD)