534 Instansi Dinilai Kurang Efisien Terapkan Teknologi Informasi
Oleh
NINA SUSILO / NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Lebih dari 85 persen dari 616 instansi dinilai masih kurang efisien dalam penerapan sistem pemerintah berbasis elektronik. Artinya, instansi-instansi tersebut masih memiliki teknologi informasi yang tak terintegrasi dengan instansi lain. Inefisiensi ini disebut telah memboroskan anggaran belanja teknologi informasi lebih dari Rp 4 triliun setiap tahunnya.
Pada 2018, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) mengevaluasi sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) pada 616 instansi yang meliputi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan Polri. Setidaknya, ada tiga fokus evaluasi, yakni kebijakan, tata kelola, dan layanan.
Dari hasil evaluasi, sebanyak 534 instansi atau 86,69 persen berpredikat cukup dan kurang. Hanya 82 instansi atau 13,31 persen berpredikat baik, sangat baik, dan memuaskan.
Menpan RB Syafruddin mengatakan, masih banyak instansi mengeluarkan beragam aplikasi sejenis antar-instansi pemerintah atau aplikasi umum yang seharusnya bisa saling terintegrasi. Akibatnya, setiap tahun, terjadilah pemborosan anggaran belanja teknologi informasi.
"Sekarang semua membangun aplikasi, tetapi enggak sambung satu sama lain. Kalau semakin banyak infrastruktur yang dibangun oleh masing-masing pemda, maka membuat anggaran semakin tinggi. Tetapi kalau diefisienkan, disatukan, disinkronkan hal-hal yang tak perlu, itu tak perlu dianggarkan lagi," ujar Syafruddin usai menyerahkan hasil evaluasi SPBE tahun 2018 kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hadir pula dalam acara itu sejumlah menteri, seperti Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, serta Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
Pemborosan anggaran belanja teknologi informasi memang terbilang tinggi. Dari periode tahun 2014 hingga 2016, total belanja teknologi informasi mencapai lebih dari Rp 12,7 triliun atau rata-rata Rp 4,23 triliun per tahun. Sebanyak 65 persen dari belanja itu digunakan untuk membangun aplikasi umum.
Oleh karena itu, Syafruddin menuturkan, perlu percepatan penerapan SPBE Nasional, seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018. Ada empat program percepatan yang harus dilakukan, yakni berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran, pengelolaan sumber daya manusia atau sistem kepegawaian, pengarsipan, serta pengaduan masyarakat.
"Kalau semua infrastruktur itu disinkronkan dari seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, tentu akan sangat akan efektif dan efisien dalam aspek-aspek pengawasan, sekaligus mempercepat daripada kinerja dan tata kelola pemerintahan dari tingkat pusat dan daerah," tutur Syafruddin.
Dari periode tahun 2014 hingga 2016, total belanja teknologi informasi mencapai lebih dari Rp 12,7 triliun atau rata-rata Rp 4,23 triliun per tahun.
Peringatan
Sementara itu, Bambang Brodjonegoro menambahkan, hasil evaluasi SPBE seharusnya menjadi peringatan bagi instansi yang kerap asal membangun pusat data dan pelaporan. Akibatnya, kehadiran pusat data dan pelaporan itu bukannya membantu proses percepatan tata kelola pemerintahan, tetapi malah berujung pada proyek yang tak jelas tujuannya.
"Hampir seluruh instansi pusat dan daerah mengembangkan aplikasi sendiri-sendiri yang bersifat parsial. Tidak ada harmonisasi atau sistem yang terintegrasi satu sama lain. Ini jelas tak membantu proses pembangunan kita," tutur Bambang.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam sambutannya, mengatakan, penerapan SPBE diharapkan bisa meminimalisir kasus korupsi di instansi. Sebab, segala pengurusan izin bisa dilakukan secara daring.
"Tidak ada lagi jabat tangan. Bagi birokrasi yang nakal-nakal, jabat tangan bisa berarti lain juga. Sistem ini tentu mengurangi hal tersebut," ujar Kalla.
Selain itu, menurut Kalla, kehadiran SPBE akan membuat pemerintahan berlangsung lebih efektif. Sinergi antarkementerian, lembaga, dan pemerintah daerah juga lebih mudah.
Dicontohkan, bila Menteri PUPR merencanakan pembangunan jembatan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Gubernur dan Bupati bisa langsung mengetahui dan mempersiapkan penunjangnya. Gubernur menyiapkan jalan akses, sedangkan Bupati membebaskan lahan. Sistem, lanjut Kalla, akan mendukung kerja yang terintegrasi seperti ini.
“Sehingga pada masa datang, rapat berkurang. Karena, satu kali Bapak-Bapak/Ibu-Ibu diundang ke Jakarta, rame-rame. Karena kalau ada rapat di sini, di luar juga ada rapat, para ajudan berkumpul rame-rame, di bawah para supir juga berkumpul. Jadi kalau rapat di sini itu, tiga kali acaranya, makannya juga tiga kali jumlahnya,” tutur Kalla.
Kalla berharap, sistem pemerintahan yang terpadu, efisien, efektif serta ada standarisasi perlu terus diwujudkan dalam segala bagiannya. “Jadi, harapan kita kepada pemda dan kementerian/lembaga untuk segera mengikuti aturan yang dikemukakan Perpres (No 95/2018) ini agar kemudian dapat masuk suatu jaringan internet nasional terpadu,” kata Kalla.