Pemantau Asing Tak Boleh Bandingkan Kondisi Pemilu di Negaranya
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga luar negeri yang akan memantau penyelenggaraan pemilu di Indonesia harus mematuhi aturan yang ada. Selain tidak boleh memiliki afiliasi politik, lembaga tersebut juga tidak boleh serta-merta membandingkan kondisi pemilu di Indonesia dengan negara asalnya atau negara-negara lain.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, setidaknya hingga hari ini ada 51 lembaga yang terakreditasi oleh Bawaslu untuk ikut memantau penyelenggaraan Pemilu 2019. Lembaga pemantau pemilu itu terdiri dari 49 lembaga dalam negeri dan 2 lembaga asing.
Lembaga pemantau dari dalam negeri berasal dari enam kelompok, antara lain lembaga swadaya masyarakat, badan hukum, organisasi keagamaan, dan organisasi kepemudaan. Sementara dua lembaga pemantau pemilu dari luar negeri adalah Asia Democracy Network dan Asian Network For Free Elections.
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, mengatakan, ada aturan yang lebih ketat bagi lembaga pemantau pemilu dari luar negeri, terutama larangan menafsirkan kondisi pemilu di Indonesia dengan negara asalnya atau negara-negara lain. Sebab, menurut dia, setiap negara memiliki aturan sendiri dalam sistem penyelenggaraan pemilu.
Dia mencontohkan persoalan boleh tidaknya anggota TNI-Polri untuk mencoblos. ”TNI-Polri di (negara) kita tak boleh memilih. Di negara lain bisa jadi boleh. Kalau mereka beropini atas apa yang terjadi di Indonesia lalu dihubungkan dengan aturan di negara dia atau negara lain, belum tentu aturannya sama,” ujar Afifuddin seusai diskusi publik ”Pemantauan dan Upaya Membangun Integritas Pemilu 2019” di Jakarta, Selasa (26/3/2019).
”Pemilu ini, kan, soal sistem yang dianut masing-masing negara berbeda. Prinsip-prinsip itu yang harus mereka pahami regulasi di negara kita, harus mereka hargai apa yang menjadi patokan di negara kita,” lanjutnya.
Hadir pula dalam diskusi tersebut Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta, serta Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby.
Kalau mereka beropini atas apa yang terjadi di Indonesia lalu dihubungkan dengan aturan di negara dia atau negara lain, belum tentu aturannya sama. Pemilu ini, kan, soal sistem yang dianut masing-masing negara berbeda.
Afifuddin menuturkan, pihaknya akan memberikan sanksi pencabutan akreditasi kepada lembaga pemantau asing yang terbukti melanggar aturan tersebut. Dengan demikian, lembaga tersebut tidak diperkenankan memantau penyelenggaraan pemilu di Indonesia lagi.
”Kami akan keluarkan dari posisi dia sebagai pemantau sehingga opini apa pun yang dikeluarkan tidak kami anggap. Sebagai lembaga asing, mereka harus mengakui kedaulatan dan aturan lokal, juga taat pada semua aturan di Indonesia,” tutur Afifuddin.
Harus netral
Dalam kesempatan itu, Titi Anggraini mengapresiasi kehadiran pemantau internasional untuk belajar dari pemilu Indonesia. Meski demikian, lanjutnya, mereka harus patuh terhadap tiga kode etik yang diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pemantauan Pemilu.
Ketiga kode etik yang diatur itu adalah pemantau pemilu harus menghormati kedaulatan NKRI, mematuhi peraturan perundang-undangan pemilu, dan netral.
”Jadi, pemantau pemilu dalam dan luar negeri, salah satu yang paling mendasar itu adalah nonpartisan dan netral. Tak boleh berafiliasi dengan peserta pemilu mana pun, apalagi menjalankan agenda dan kepentingan peserta pemilu tertentu,” kata Titi.
Titi juga menekankan, pemilu yang demokratis tidak ditentukan ada atau tidaknya pemantau pemilu dari luar negeri. Kehadiran mereka biasanya karena berkaitan dengan persahabatan antarnegara.
”Jadi, kehadiran mereka bukan hak. Berbeda dengan pemantau pemilu dalam negeri itu memang diprioritaskan sebagai ekspresi partisipasi masyarakat. Kalau dari luar negeri, harus ada undangan resmi dan ada persyaratan yang lebih ketat, seperti akreditasi pemantau pemilu asing,” ucapnya.
Sementara itu, Sigit Pamungkas meminta kepada masyarakat agar tidak melihat kehadiran pemantau pemilu asing sebagai ancaman sehingga harus ada peningkatan pengamanan.
”Semakin banyak lembaga pemantau yang mengawasi dan mencermati, seharusnya semakin baik untuk menjaga kualitas demokrasi dan pemilu kita,” ujar Sigit.