MRT Tidak Bisa Berjalan Sendirian
Hari Selasa (26/3/2019) adalah hari kedua moda raya terpadu atau MRT Jakarta beroperasi dengan pola komersial gratis. Apakah penumpang ada? Ada. Apakah sesuai harapan? Belum tahu.
Sejak dalam proses konstruksi dan proses persiapan operasi, kurun waktu 2013-2019, para pengamat transportasi hingga pemerintah sudah mengomentari angkutan umum perkotaan berbasis rel MRT tidak bisa beroperasi sendiri meski, sejak awal dikonsep, MRT digadang-gadang sebagai tulang punggung transportasi umum di Ibu Kota.
Baca juga: Selamat Datang MRT Pertama Indonesia
Baca juga : Wow, Akhirnya MRT Terwujud Jua
Iskandar Abubakar, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Senin (18/3/2019), menjelaskan, kunci penting dalam pengoperasian MRT Jakarta adalah backbone atau tulang punggung. Untuk bisa berperan maksimal, sebagai backbone, MRT harus didukung moda angkutan lain sehingga membentuk jaringan.
”Nah, MRT kita masih pendek, 16 kilometer. Karena masih pendek, ia tidak akan mendapatkan penumpang terlalu besar,” ujar Iskandar.
Nah, MRT kita masih pendek, 16 kilometer. Karena masih pendek, ia tidak akan mendapatkan penumpang terlalu besar.
Namun, dari 13 stasiun di jalur MRT fase 1, ada sejumlah stasiun yang akan mendapatkan banyak penumpang. Satu di Stasiun Lebak Bulus. ”Karena dulu Lebak Bulus direncanakan sebagai pusat penumpang,” kata Iskandar.
Kedua, adalah stasiun Blok M. Di sana saat ini sudah ada terminal bus sehingga orang dari mana-mana akan berpindah ke MRT. Berikutnya adalah Stasiun Sisingamangaraja-CSW karena ada Koridor 13 Transjakarta.
Yang lainnya adalah Stasiun Dukuh Atas. ”Di sana ada KCI, Railink, MRT, juga nantinya ada LRT. Dengan adanya KRL, penumpang MRT bisa bertambah. Kalau nantinya LRT yang berawal dari pinggir Jakarta sudah beroperasi, juga akan menambah penumpang,” ucap Iskandar.
Lihat juga: Menyambut Kelahiran MRT Jakarta
Bambang Prihartono, Kepala Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPTJ), menegaskan, dengan beroperasinya MRT, meski masih pendek, semua pihak tidak ingin apa yang terjadi di Kereta Bandara (Railink) dan LRT Palembang terulang, yaitu tidak ada penumpang.
”Itu sebabnya, integrasi dengan angkutan lain amat penting,” papar Bambang.
Dalam kaitan integrasi MRT dengan moda transportasi lainnya, BPTJ menyoroti perlunya kerja sama DKI Jakarta dengan kota-kota di sekitar Jakarta. Tentu saja, itu menjadi kerja sama antarpemerintah daerah yang dikoordinasi oleh BPTJ.
”MRT memang sekarang ini ruasnya baru ada di wilayah DKI. Namun, MRT itu melayani juga wilayah sekitarnya. Dari Lebak Bulus ada penumpang dari Tangerang dan Tangerang Selatan, juga dari Depok ataupun wilayah selatan dan timur Jakarta. Di sinilah BPTJ berperan meyakinkan integrasi antarmoda berjalan dengan baik. Itu juga pesan Presiden,” kata Bambang.
Dalam kaitan integrasi yang dikoordinasi BPTJ, Djoko Setijawarno, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, mengatakan, karena dari wilayah Jabodetabek yang paling kuat pendanaan daerahnya adalah Jakarta, sebaiknya Jakarta yang menyiapkan bus-bus pengumpan ke daerah sekitar.
Idealnya, harus ada angkutan yang menyisir dari kawasan permukiman di pinggir Jakarta, lalu mengarah ke stasiun-stasiun MRT. Bus-bus itu yang menyiapkan Jakarta. Pemerintah daerah di sekitar Jakarta sebaiknya juga menyiapkan infrastruktur, seperti tempat pemberhentian bus atau tempat parkir. Hal ini juga berlaku untuk kereta ringan (LRT) Jakarta yang juga segera beroperasi bahwa perlu dipikirkan angkutan lanjutannya.
William P Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta, juga menegaskan perlunya integrasi itu. Tujuannya tentu saja untuk memberikan kemudahan akses bagi perpindahan antarmoda dan pergerakan penumpang.
Komunikasi intens dengan operator sesama BUMD DKI Jakarta, PT Transportasi Jakarta, sudah menghasilkan sejumlah rute pengumpan baru. Di wilayah Dukuh Atas, atau yang disebut kawasan integrasi Dukuh Atas (KIDA), ada rute Transjakarta baru, taitu dari KIDA-Sam Ratulangi, KIDA-Tanah Abang, KIDA-Kuningan, dan KIDA-Kota.
Menurut Agung Wicaksono, Direktur Utama PT Transportasi Jakarta, dengan keluarnya izin operasi dari BPTJ, operasional Transjakarta ke wilayah pinggiran Jakarta juga terjadi, yaitu untuk menghadirkan angkutan pengumpan dari wilayah-wilayah pinggir menuju stasiun MRT Jakarta. Rute pengumpan baru itu adalah BSD-Bundaran Senayan, Bintaro-Blok M, Pondok Cabe-Tanah Abang, Jatijajar-Lebak Bulus, dan Cinere-Kuningan.
Rute-rute baru tersebut terintegrasi dengan MRT Jakarta di Stasiun Lebak Bulus dan Stasiun Sisingamangaraja sehingga memudahkan masyarakat berangkat menuju titik tujuan ataupun sebaliknya.
Sementara angkutan di kawasan permukiman dengan angkutan mikro JakLingko, lanjut Agung, Transjakarta juga sudah mengoperasikan sejumlah rute, yaitu Lebak Bulus-Pondok Labu, Petukangan-Lebak Bulus, dan Ragunan-Lebak Bulus.
Namun, menurut Aditya Dwi Laksana, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia, masih perlu lebih banyak lagi pengembangan rute dari kawasan permukiman di selatan dan timur serta barat Jakarta untuk menuju stasiun-stasiun MRT. Merekalah yang mengisi ridership MRT.
Masih tentang integrasi, selain dengan Transjakarta, MRT Jakarta, kata William, juga mengupayakan kerja sama angkutan dengan penyedia angkutan online. Langkah itu penting sebagai bagian dari penataan kawasan supaya kawasan stasiun tidak menjadi titik kemacetan baru. Di antaranya menyiapkan titik-titik penjemputan ataupun penurunan penumpang serta pengaturan bagi kendaraan-kendaraan pribadi yang juga menurunkan dan menaikkan penumpang.
Dengan perencanaan integrasi itu, Djoko Setijawarno menggarisbawahi bahwa untuk mengatasi kemacetan Jakarta, MRT tidak bisa berdiri sendiri. MRT dan sistem angkutan berbasis jalan tetap harus saling melengkapi.
Apalagi dengan besaran tarif MRT dan LRT yang segera ditetapkan, dengan Jakarta yang juga masih terdapat masyarakat kurang mampu, mereka akan kurang bisa mengakses MRT dan LRT. Itu sebabnya, angkutan dalam sistem BRT juga tidak bisa dimatikan atau dihilangkan karena angkutan umum berbasis jalan tetap akan menjadi pilihan masyarakat kurang mampu itu.
Baca juga: ITDP: Kebijakan Parkir adalah Kunci
Selanjutnya, Aditya menambahkan, begitu integrasi fisik antarmoda terwujud, langkah selanjutnya yang harus diwujudkan adalah integrasi sistem pembayaran dan tiket. Alangkah tidak efisien dan mahalnya suatu perjalanan apabila warga membayar sendiri-sendiri untuk setiap moda. Kalau itu yang terjadi, niat untuk menurunkan pengeluaran transportasi warga yang selama ini masih 30 persen dari pendapatan tidak akan terjadi. Kemacetan juga sudah pasti kian jadi.
Lebih baik Pemprov DKI Jakarta mengupayakan tarif terintegrasi atau bundling tariff sehingga ada efisiensi tarif dan keterjangkauan saat warga menaiki berbagai moda. Langkah lainnya adalah integrasi tiket, di mana satu tiket bisa untuk semuanya.
Menurut Djoko, lagi-lagi itu kembali ke kepala daerah DKI Jakarta, apalagi dengan adanya MRT, Transjakarta, dan LRT. ”Ketiga moda itu bisa diintegrasikan karena ketiganya dikelola perusahaan daerah DKI Jakarta. Itu bisa asalkan kepala daerahnya memiliki komitmen dan sikap tegas dan jelas mengenai penetapan besaran tarif,” ujar Djoko.
Pekerjaan rumah selanjutnya, tandas Iskandar, supaya keterjangkauan angkutan umum perkotaan berbasis rel kian menjangkau tentu saja perlu ada perpanjangan fase 2 MRT Jakarta koridor selatan-utara. Juga LRT Jakarta perlu diteruskan.