Pertama di Indonesia, Pusat Pengetahuan dan Inovasi Makanan
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pusat pengetahuan dan inovasi makanan pertama di Indonesia, Accelerice, telah didirikan. Melalui berbagai program pelatihan serta penggunaan dapur dan ruang kerja bersama, usaha mikro, kecil, dan menengah sektor kuliner berkesempatan mengatasi kesulitan utama dalam bisnisnya, yaitu memperluas cakupan bisnis.
Berpusat di Jakarta, Accelerice adalah usaha rintisan yang menyediakan berbagai program pendidikan dan inovasi UMKM makanan dan minuman. Produk UMKM peserta program dapat dipasarkan di gerai Toko Sebelah milik Accelerice di Ariobimo Sentral, Jakarta. Selain itu, Accelerice menyediakan dapur dan ruang kerja bersama (co-working space) untuk badan-badan usaha kuliner.
Mengutip data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Senin (25/3/2019), Chief Empowerment Officer Accelerice Charlotte Kowara mengatakan, diperkirakan ada 5,6 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di ranah kuliner. Sebanyak 92 persen atau 5,2 juta dari semua UMKM tersebut berpenghasilan Rp 30 juta per bulan.
“Kami tidak cuma ingin membantu bisnis kuliner untuk scale up (memperluas cakupan bisnis), tetapi juga berinovasi dengan teknologi makanan. Karena itu, mereka bisa menggunakan sarana pendukung di dapur kami, termasuk mesin-mesin, fasilitas packaging (pengemasan), dan sebagainya,” kata Charlotte.
Kami tidak cuma ingin membantu bisnis kuliner untuk memperluas cakupan bisnis, tetapi juga berinovasi dengan teknologi makanan.
Kepala Bekraf Triawan Munaf mengatakan, selama ini UMKM kesulitan memperluas cakupan bisnis lantaran keterbatasan riset dan pengembangan (R&D), lemahnya pemasaran dan distribusi, serta kurangnya pendanaan. Di samping itu, niat berkembang para pegiat bisnis kuliner juga rendah.
Kehadiran Accelerice pun dapat melengkapi ekosistem yang sudah dibentuk Bekraf selama ini, seperti kompetisi Food Startup Indonesia dan Creative Food X. “Upaya Bekraf ini bisa dipercepat Accelerice. Untuk membantu bisnis kuliner scale up, kita harus mencarikan mereka teman yang tepat untuk membantu mereka berkembang,” kata Triawan.
Salah satu program Accelerice yang telah berlangsung adalah Food Startup Indonesia Accelerator (FSIA). Program ini adalah kelanjutan dari Food Startup Indonesia milik Bekraf. Selama sekitar dua minggu, 30 pemilik unit UMKM akan mendapatkan pelajaran tentang keamanan makanan, pengepakan, desain logo, pemasaran, dan sebagainya.
Setelah itu, hingga 3,5 bulan, para peserta akan mendapatkan kelas daring (dalam jaringan) sembari melanjutkan dan memperbaiki bisnisnya. Sebagai puncaknya, ke-30 peserta akan mengikuti pameran (Demo Day) yang dihadiri berbagai perusahaan kuliner, modal ventura, dan sebagainya. Para peserta bisa mendapatkan permodalan untuk berkembang, salah satunya dari Salim Group yang mensponsori FSIA.
Executive Director Salim Group, Axton Salim mengatakan, keberadaan Accelerice dapat meningkatkan kualitas UMKM kuliner di berbagai lini. Tim R&D bisa meningkatkan kualitas keamanan makanan. UMKM juga bisa dipertemukan dengan distributor dan sumber pendanaan yang tepat.
“Proses link and match bisa jadi lebih cepat. Nantinya, kami akan berinvestasi pada peserta terbaik dalam program FSIA ini,” katanya.
UMKM juga bisa dipertemukan dengan distributor dan sumber pendanaan yang tepat.
Ekspor kuliner
Selain dari swasta, pendanaan bagi UMKM juga bisa datang dari pemerintah. Deputi Akses Permodalan Bekraf Fajar Hutomo mengatakan, Bekraf sedang menyusun skema pembiayaan khusus untuk ekspor kuliner Nusantrara. Skema ini disebut National Interest Account for Culinary.
“Masalahnya, mencari mitra UMKM yang siap go global (ekspor) cukup susah. Harapannya, para alumni Accelerice ini bisa menjadi mitra potensial untuk menerima skema pendanaan kami,” kata Fajar.
Triawan berharap makin banyak UMKM yang mampu memproduksi barang substitusi produk asing di pasar dalam negeri. Ia mencontohkan Warung Upnormal yang tersebar di berbagai kota di Indonesia dan dapat menyaingi gerai kopi asal AS, Starbucks. Dengan begitu, defisit neraca perdagangan Indonesia bisa dikurangi.
Berdasarkan perkiraan Forum Ekonomi Dunia (WEF), produk domestik bruto (PNB) Indonesia pada 2050 akan mencapai 10 triliun dollar AS, terbesar keempat di dunia. Axton mengatakan, untuk mewujudkannya, perusahaan-perusahaan besar juga harus membantu UMKM berkembang.
Bisnis kuliner pun bisa dieksplorasi lebih jauh. Axton mengatakan, ada 5.300 resep makanan di Indonesia, tetapi hanya sekitar 300 resep yang secara umum digunakan untuk masakan sehari-hari. Jumlah bumbu asli Indonesia pun mencapai 500.000 jenis, namun yang terpakai baru sekitar 7.500 jenis.
Ada 5.300 resep makanan di Indonesia, tetapi hanya sekitar 300 resep yang secara umum digunakan untuk masakan sehari-hari. Jumlah bumbu asli Indonesia pun mencapai 500.000 jenis, namun yang terpakai baru sekitar 7.500 jenis.
Upaya mengembangkan bisnis kuliner telah dimulai oleh Go-Jek dalam program Go-Jek Wirausaha. Program ini merupakan bagian dari kampanye Ayo UMKM Jualan Online yang dimulai pemerintah.
Pada 2018, Go-Jek WIrausaha telah diikuti 22.000 unit UMKM di bidang kuliner di 14 kota. Tahun 2019, Go-Jek menarget peningkatan peserta hingga 35.000 unit UMKM di 25 kota (Kompas.id, 20 Februari 2019).
Adapun FSIA oleh Accelerice akan dilaksanakan empat kali dalam setahun, masing-masing melibatkan 30 unit UMKM yang dapat ikut secara gratis. Menurut Charlotte, Accelerice terbuka pada berbagai sumber pendanaan dari perusahaan di industri kuliner, baik dalam bentuk investasi, dana tanggung jawab sosial (CSR), dan sebagainya.
Beberapa peserta pun juga menjadi peserta Go-Jek Wirausaha, seperti pembuat pie apel FabPie. Febi Dyahayunigrum (35), pendiri FabPie, merasa sangat terbantu dengan kedua program yang diikutinya. Melalui Go-Jek, ia telah bisa memanfaatkan layanan antar Go-Food. Sementara itu, di FSIA, ia bisa mendapatkan pelatihan pengemasan, pembukuan, dan peningkatan kualitas makanan.
Adapaun Muhammad Zainudin, pemilik UD Haza Food yang menjual keripik pisang coklat Pigela, berencana memperbaiki kemasan dan manajemen administrasi bisnisnya selama pelatihan daring. Apalagi, produknya telah dijual di seluruh Indonesia dengan omzet Rp 900 juta per hari. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)