JAKARTA, KOMPAS — Meskipun pembelahan opini di masyarakat jelang Pemilu 2019 dinilai cukup mengkhawatirkan, optimisme berlangsungnya pemilu secara damai harus tetap dibangun. Masyarakat Indonesia memiliki modal sosial yang kuat untuk pulih dari polarisasi politik yang terjadi akibat Pemilihan Presiden 2019.
Sejumlah konflik horizontal di masyarakat terjadi dengan latar belakang politik Pemilu 2019. Pada November 2018, terjadi pembunuhan di Sampang, Jawa Timur, yang diduga disebabkan akibat perbedaan pilihan politik. Di Gorontalo, juga terjadi pemindahan makam keluarga secara paksa dengan alasan yang serupa.
Meski demikian, staf pengajar ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, Senin (25/3/2019), di Jakarta, mengungkapkan, ia optimistis Pemilu 2019 akan berjalan dengan adil, jujur, dan damai. Menurut dia, hal ini dapat dimungkinkan karena masyarakat Indonesia memiliki dua modal sosial yang kuat dalam sejarahnya untuk menjaga kerekatan dan kedamaian antarwarga.
Dua modal sosial ini adalah pertama, pengalaman politik masa lampau. Adi mengatakan, dalam sejarah pemilu Indonesia, keterbelahan di masyarakat sudah terjadi berulang-ulang namun demokrasi tetap berjalan.
Ia mencontohkan pada Pemilu 1955, polarisasi antara kelompok nasionalis dan Islam terjadi secara sengit sehingga kabinet berganti hampir tiap bulan, namun proses demokrasi tetap berjalan dengan baik. Jelang Pemilu 2004 pun terjadi persaingan yang ketat antara kelompok nasionalis dan Islam.
Modal sosial kedua adalah rasa saling percaya (interpersonal trust) yang sudah menjadi jati diri bangsa Indonesia. “Untuk itu, saya cukup yakin bahwa pemilu-pemilu yang berlangsung dengan adil, jujur, dan damai itu bisa diulang kembali,” kata Adi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Meski demikian, modal sosial yang baik ini harus tetap dijaga melalui kampanye yang tidak memecah-belah bangsa, kata Adi. Pesan-pesan yang disampaikan oleh kedua calon presiden di kampanye terbuka mereka yang pertama pada akhir pekan lalu itu mengirimkan pesan yang baik untuk menjaga kerukunan di masyarakat.
“Jokowi di Banten berbicara bahwa di balik perbedaan tapi masyarakat Indonesia tetap harus bersatu. Begitu juga dengan Prabowo yang berpesan untuk menghindari menghujat dan memprovokasi kelompok lain. Ini narasi politik yang luar biasa. Ini narasi kebangsaan dari dua kandidat yang menjadi modal dasar agar konsolidasi politik bisa kita bangun dalam pemilu ini,” kata Adi.
Independen
Pandangan yang serupa juga disampaikan Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin Ace Hasan Syadzily. Kampanye untuk pemilihan legislatif ataupun pemilihan presiden harus dilakukan dengan cara menawarkan gagasan dan visi-misi pembangunan negara.
“Jika pendekatan seperti itu yang dilakukan, maka saya kira tidak akan ada lagi perpecahan, karena semangat dari demokrasi sesungguhnya adalah upaya untuk mencari yang terbaik di antara para pemimpin, baik itu di legislatif maupun eksekutif, agar mereka betul-betul dipercaya oleh masyarakat,” kata Ace.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Penasihat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno Hidayat Nur Wahid mengatakan, pers juga memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan polarisasi dan menjaga ketertiban.
Pers yang dapat menjaga independensi perannya menjadi krusial. Karena, masyarakat mendapatkan informasi mengenai Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 dari pers.
“Kalau ingin pemilu ini damai, jangan hanya para kontestannya saja tetapi pihak lain juga harus turut terlibat dan harus taat hukum. Bagi media adalah kode etik jurnalistik. Oleh karenanya, jangan mau media dijadikan pers rasa timses. Ini adalah bagian yang harus dikritisi,” kata Hidayat.