Enam bulan lalu pasangan suami-istri Agus Gunawan (43) dan Ratnawati (34) dilanda gundah. Toko kelontong ”King” yang menjadi sumber penghidupan mereka menghasilkan terlalu banyak sampah plastik yang membahayakan lingkungan.
”Harus ada yang dilakukan, tidak bisa dibiarkan begini terus. Semakin lama, kami merasa semakin bersalah,” kata Agus, Jumat (22/3/2019).
Berdasarkan data yang dihimpun Litbang Kompas, warga Jabodetabek menghasilkan 17.000 ton sampah per hari. Sekitar 35 persennya merupakan sampah plastik.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat produksi sampah plastik tertinggi. Dalam sehari, tak kurang 175.000 ton sampah plastik dihasilkan (Kompas, 10/3/2019).
Toko King letaknya di Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten. Dalam sehari, lebih kurang 2 kilogram (kg) kantong plastik (keresek) diberikan gratis untuk melayani pembeli di toko itu.
Awal Januari, Agus dan Ratnawati sepakat mulai menyosialisasikan keputusan menghentikan tas keresek gratis kepada pembeli. Mereka sadar konsekuensinya harus siap kehilangan pelanggan setia.
”Setiap hari kami menjelaskan kepada pembeli untuk membawa sendiri kantong belanjaan. Kalau tidak bawa, kami beri mereka kardus sebagai alternatif terakhir,” kata Agus.
Untungnya, tak ada pelanggan setia Toko King yang kabur akibat keputusan mereka menyetop keresek gratis itu. Meskipun begitu, tetap ada beberapa pembeli yang protes karena merasa direpotkan.
Menghemat
Sejak menyetop penggunaan keresek pada 1 Maret 2019, Toko King bisa menghemat pengeluaran Rp 1,5 juta untuk membeli keresek setiap bulan. Sebelumnya, dalam sebulan setidaknya 60 kg keresek dibutuhkan untuk membungkus belanjaan pembeli.
”Kalau cuma mau cari untung, kami bisa saja ikutan menerapkan keresek berbayar. Namun, bukan itu yang kami mau. Kami ingin mengajak warga lain belajar mengurangi sampah,” kata Agus.
Di Jakarta, sejumlah gerai yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) telah sepakat memberlakukan keresek sebagai barang dagangan per 1 Maret 2019. Namun, banyak pihak menilai harga Rp 200 per keresek yang diterapkan terlalu murah dan tidak berdampak mendorong kesadaran pembeli.
”Waktu saya bilang enggak mau lagi ngasih keresek, beberapa pembeli menawari untuk membayar. Bukan itu yang kami mau. Ini bukan soal uang atau untung dan rugi,” kata Ratna.
Sebagai pedagang kebutuhan sehari-sehari, Agus dan Ratna menyadari memang tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari plastik. Barang dagangan mereka sebagian besar dikemas dengan plastik sejak dari pabriknya.
”Inisiatif kami menyetop keresek memang tidak berdampak besar. Namun, setidaknya kami sudah melakukan apa yang kami bisa dengan maksimal,” kata Agus. (PANDU WIYOGA)