JAKARTA, KOMPAS — Peluang bagi swasta untuk masuk ke proyek infrastruktur pemerintah semakin terbuka dengan adanya skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha atau KPBU. Namun, diperlukan modal beserta teknologi yang cukup karena pengembalian investasinya dalam jangka panjang.
Di dalam diskusi ”Percepatan Pembangunan Infrastruktur Transportasi Skema KPBU” yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pada Rabu (20/3/2019) di Jakarta, pemerintah semakin banyak menyiapkan proyek infrastruktur berskema KPBU, seperti di jalan tol, bandar udara, dan perkeretaapian. Diharapkan swasta berminat dan semakin banyak masuk ke proyek-proyek tersebut.
Chief Executive Officer PT Nusantara Infrastructure Tbk M Ramdani Basri mengatakan, meski KPBU sudah diluncurkan lebih dari 10 tahun lalu, tidak serta-merta proyeknya yang ditawarkan bisa berjalan. Masalahnya adalah ketidaksiapan pendanaan karena proyek infrastruktur memerlukan modal besar, sementara pengembalian atas investasi dalam jangka panjang.
Saat ini, lanjut Ramdani, pembangunan jalan tol menjadi salah satu jenis proyek infrastruktur dengan skema KPBU yang paling maju. Itu karena tidak hanya pemerintah yang menyiapkan proyeknya, tetapi swasta pun memiliki kesempatan untuk mengajukan proyek prakarsa.
Tidak hanya jalan tol, pemerintah juga telah membuka skema KPBU untuk perbaikan dan pembangunan jalan non-tol atau jalan nasional dengan skema ketersediaan layanan. ”KPBU harus dilakukan karena kemampuan pendanaan dari APBN ataupun BUMN sudah mencapai batas. Jadi, kuenya besar, swasta mulai siap, tetapi belum banyak,” kata Ramdani.
Namun, proyek infrastruktur tidak hanya memerlukan modal kuat, tetapi juga penguasaan teknologi. Ramdani mencontohkan, pihaknya sempat kesulitan mencari kontraktor untuk pembangunan konstruksi jalan layang karena yang menguasai belum banyak. Ramdani menyarankan agar swasta masuk menjadi subkontraktor.
Menurut Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Danang Parikesit, sumber pembiayaan dari 48 proyek jalan tol yang tengah berjalan berasal dari utang sebesar 55 persen (Rp 273 triliun), ekuitas sebesar 38 persen (Rp 187 triliun), dan dukungan pemerintah atau VGF sebesar 7 persen (Rp 36 triliun). Kreditor atau pemberi pinjaman terbesar adalah bank pemerintah (bank Himbara), beberapa bank, seperti BCA, Bank Mega, dan Bank CIMB Niaga, serta bank-bank pembangunan daerah.
Proyek infrastruktur tidak hanya memerlukan modal kuat, tetapi juga penguasaan teknologi.
”Promising player ke depan adalah bank-bank pembangunan daerah (BPD). Dengan ikut sindikasi, meski kecil nilainya (kreditnya), itu kesempatan yang baik untuk belajar bagi BPD tersebut,” kata Danang.
Menurut Danang, perencanaan dan pembangunan jalan tol ke depan mesti mengikutsertakan pembangunan kawasan, seperti pembangunan kawasan industri dan properti. Hal itulah yang kini tengah dilakukan di tol Trans-Sumatera yang dibangun dengan skema penugasan. Meski berskema penugasan, pengembangan kawasan mesti melibatkan banyak pihak, terutama pihak swasta.
Peluang lebar bagi swasta di proyek infrastruktur yang terkait dengan transportasi juga dikatakan Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono. Pergerakan orang sudah mencapai 50 juta dalam sehari, sementara yang bisa difasilitasi angkutan umum baru 6 juta pergerakan.
Berdasarkan rencana induk Jabodetabek, kebutuhan investasi yang diperlukan untuk infrastruktur transportasi Jabodetabek antara tahun 2020 dan 2024 mencapai Rp 400 triliun. Dari kebutuhan itu, sekitar 70 persen dari swasta. Kebutuhan itu belum mencakup infrastruktur dasar lain, seperti perumahan dan air bersih.
Peluang lain bagi swasta adalah pengembangan kawasan berbasis transit (TOD) yang akan dikembangkan sejalan dengan pembangunan transportasi umum. Menurut rencana, total terdapat 53 titik yang berpotensi dikembangkan. Untuk saat ini baru 4 titik yang dikembangkan.
”Jadi, sengaja kita dorong bukan sebagai proyek pemerintah, melainkan prakarsa dari swasta. Kan, yang lebih tahu manfaat atau kelayakannya itu swasta,” kata Bambang.
Proyek-proyek transportasi lain yang dilakukan dengan skema KPBU adalah pengembangan bandara Komodo Labuan Bajo yang memerlukan investasi sekitar Rp 3 triliun. Menurut Kepala Seksi Kerja Sama dan Pengembangan Pengusaha Bandar Udara Arief Mustofa, saat ini sudah terdapat lima konsorsium perusahaan yang masuk ke proses lelang. Pemenang lelang akan diberi konsesi selama 25 tahun.
Proyek infrastruktur transportasi berskema KPBU yang lain adalah pembangunan jalur kereta api Makassar-Parepare. Saat ini terdapat tiga proyek lain yang juga disiapkan dengan skema KPBU, yakni kereta ringan Cibubur-Bogor, penambahan kapasitas jalur Lahat-Tarahan, dan proyek jalur kereta api Cibungru-Tanjungrasa.
Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Erwin Aksa, swasta perlu dilibatkan semakin banyak dalam proyek infrastruktur transportasi pemerintah. Untuk itu, mekanismenya perlu diperjelas. Selain mekanisme pelaksanaan KPBU, lanjut Erwin, diperlukan informasi lebih jauh mengenai manfaat yang diterima, termasuk tantangan dan hambatannya.
”Jika sudah ada, kita juga perlu mengetahui bagaimana sebenarnya mekanisme pelaksanaan KPBU di Kementerian Perhubungan sehingga bisa menjadi acuan bagi pihak badan usaha,” kata Erwin.