Fleksibilitas Harga Penyerapan Bulog Bisa Dievaluasi Sewaktu-Waktu
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah memang telah menetapkan fleksibilitas sebesar 10 persen di atas harga pembelian pemerintah bagi Perum Bulog untuk menyerap gabah atau beras dari dalam negeri. Meskipun demikian, masih ada ruang evaluasi terhadap kesesuaian dengan harga yang terbentuk dari mekanisme pasar.
Penugasan Perum Bulog terkait penyerapan beras atau gabah dalam negeri mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah untuk pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP). Dalam aturan itu, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 3.700 per kilogram (kg). Dengan fleksibilitas 10 persen, Bulog dapat menyerap dengan harga Rp 4.070 per kg.
Akan tetapi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata harga GKP di tingkat nasional pada Maret dan April 2018 berkisar Rp 4.845 per kg dan Rp 4.556 per kg. Pada Februari 2019, harganya sudah mencapai Rp 5.114 per kg.
“Kami akan evaluasi terus-menerus terkait fleksibilitas ini. Jangka waktunya bisa saja mingguan, tergantung kondisi yang ada,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud saat ditemui di Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Menurut Musdhalifah, fleksibilitas merupakan instrumen yang membuat pemerintah lebih leluasa dalam menyesuaikan HPP terhadap kondisi harga yang terbentuk secara riil melalui mekanisme pasar. Oleh sebab itu, penyerapan Bulog dengan fleksibilitas sebesar 10 persen di atas HPP terus dipantau dan dikaji kesesuaiannya dengan harga pasar.
"Apabila dibutuhkan, fleksibilitas akan diubah lagi melalui rapat koordinasi terbatas di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian," kata dia.
Apabila dibutuhkan, fleksibilitas akan diubah lagi melalui rapat koordinasi terbatas di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Meskipun demikian, lanjut Musdhalifah, pemerintah terus mendorong Bulog untuk menyerap beras dalam negeri yang harganya di bawah HPP dengan fleksibilitas 10 persen. Sumber serapan gabah atau beras itu, menurutnya, ada di daerah-daerah pelosok.
Pada Februari 2019, BPS mendata, rata-rata harga gabah dengan kualitas rendah (kadar air di atas 25 persen) di tingkat petani sebesar Rp 4.616 per kg, yang terendah senilai Rp 3.800 per kg dan berada di Yogyakarta. Jika dibandingkan, pada Maret 2018, rata-rata harganya sebesar Rp 4.367 per kg dan terendah berada di Jawa Barat dengan harga Rp 3.000 per kg. Pada April 2018, rata-ratanya di harga Rp 4.309 per kg dan nilai terendah sebesar Rp 2.484 per kg yang berasal dari Jawa Timur.
Masih ada ruang
Sementara, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa merekomendasikan HPP gabah di tingkat petani dinaikkan hingga Rp 4.500 per kg.
“HPP untuk penyerapan itu bertujuan melindungi petani dari anjloknya harga saat panen akibat jumlah suplai melambung. Kalau HPP yang ditetapkan saat ini lebih rendah dari harga yang terbentuk akibat mekanisme pasar, tujuan itu tidak akan tercapai,” tuturnya saat dihubungi, Rabu.
Menurut Dwi, masih ada ruang untuk menaikkan harga Rp 4.500 per kg. Perkiraannya, dengan HPP yang direkomendasikan itu serta ditambah dengan ongkos angkut dan logistik, harga beras medium di tingkat konsumen berkisar Rp 10.500 per kg. Angka ini lebih rendah dari harga beras medium yang berdasarkan situs Pusat Info Harga Pangan Strategis Nasional, Rabu, sekitar Rp 11.650 – Rp 11.800 per kg.
Masih ada ruang untuk menaikkan harga Rp 4.500 per kg. Perkiraannya, dengan HPP yang direkomendasikan itu serta ditambah dengan ongkos angkut dan logistik, harga beras medium di tingkat konsumen berkisar Rp 10.500 per kg.
Idealnya, Dwi memaparkan, HPP itu berbeda setiap tahunnya dan memperhatikan kesetimbangan harga yang terbentuk dari mekanisme suplai dan permintaan. Di sisi lain, penetapan HPP yang memperhatikan kesetimbangan harga itu dapat mendongkrak penyerapan gabah atau beras dari dalam negeri yang ditugaskan pada Bulog.
Oleh sebab itu, Dwi berpendapat, penetapan HPP yang rasional dan memperhatikan mekanisme pasar menunjukkan keberpihakan pemerintah pada petani. HPP harus di atas kesetimbangan harga yang terendah agar dapat melindungi penghasilan petani.
Sebelumnya, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengatakan, besaran HPP dengan fleksibilitas 10 persen yang ditetapkan pemerintah saat ini tak relevan dengan kondisi pasar. Komponen inflasi sejak Inpres Nomor 5 Tahun 2015 diterbitkan hingga saat ini tidak dimasukkan dalam penetapan HPP dan nilai fleksibilitasnya.