MEDAN, KOMPAS — Sertifikasi tenaga kerja konstruksi mendesak ditingkatkan untuk mengejar kebutuhan pasar konstruksi. Selain sebagai pengakuan, keterampilan atau keahlian tenaga konstruksi dapat ditingkatkan melalui proses sertifikasi.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin menyampaikan, sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja konstruksi diwajibkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Sertifikasi tenaga kerja konstruksi juga diperlukan untuk mengimbangi pasar konstruksi dalam negeri dan luar negeri yang terus berkembang.
”Kalau melihat sejak 2015, pemerintah fokus pada pembangunan infrastruktur yang berkorelasi dengan pekerjaan konstruksi dan terkait dengan tenaga kerja konstruksi. Tenaga kerja konstruksi diharapkan tidak hanya bekerja di desa atau wilayahnya sendiri, tetapi juga di provinsi lain, bahkan luar negeri,” kata Syarif dalam uji sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Medan, Sumetera Utara, Senin (18/3/2019).
Anggaran pembangunan pemerintah untuk infrastruktur, lanjut Syarif, terus meningkat, Pada 2014, anggaran infrastruktur Rp 177 triliun, naik menjadi Rp 256,1 triliun pada 2015 dan Rp 410 triliun pada 2018. Adapun tahun ini dianggarkan Rp 415 triliun. Anggaran yang semakin besar menuntut tenaga kerja yang semakin profesional.
Di sisi lain, UU Jasa Konstruksi mewajibkan tenaga kerja konstruksi untuk memiliki sertifikat tenaga kerja konstruksi. Pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi wajib mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat. Maka, sertifikat kompetensi tenaga kerja konstruksi wajib dipenuhi.
Syarif mengakui, sebagian besar tenaga kerja konstruksi yang bekerja di sejumlah proyek telah memiliki keterampilan tertentu. Oleh karena itu, tenaga kerja konstruksi yang telah terampil atau berpengalaman hanya perlu uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat tanpa perlu pelatihan.
Dalam uji sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Medan, sebanyak 5.531 orang terdaftar sebagai peserta uji kompetensi. Mereka adalah tenaga kerja konstruksi yang sudah bekerja sebagai tenaga terampil, baik di bidang sipil maupun kelistrikan. Mereka berasal dari beberapa daerah atau kabupaten di Sumatera Utara, seperti Tebing Tinggi, Langkat, Dairi, Karo, dan Tobasa.
Melalui program sertifikasi, semakin banyak tenaga kerja konstruksi yang meningkatkan kompetensinya, termasuk untuk tenaga ahli.
Menurut Syarif, pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja konstruksi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Sebagaimana diatur UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah provinsi bertanggung jawab dalam pelatihan tenaga ahli, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota bertanggung jawab untuk pelatihan tenaga terampil.
”Untuk saat ini, jumlah sertifikasi di lokasi proyek dibandingkan dengan sertifikasi yang terpusat seperti ini masih lebih banyak yang terpusat. Jadi, mereka dikumpulkan, tetapi metodologi ini fleksibel,” ujar Syarif.
Syarif melanjutkan, program sertifikasi juga penting untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja konstruksi. Secara umum, kompetensi keterampilan dibedakan menjadi tingkat I, II, dan III. Demikian pula tenaga ahli dibedakan tiga tingkatan, yakni muda, madya, dan utama.
Saat ini, dari total tenaga kerja konstruksi sebanyak 8,3 juta orang, sebanyak 616.000 orang yang terdaftar memiliki sertifikat kompetensi. Jumlah tenaga kerja terampil mendominasi, yakni 400.000 orang. Sementara dari sekitar 195.000 tenaga ahli, sebanyak 43 persen di antaranya merupakan tenaga ahli muda, 53 persen tenaga ahli madya, dan hanya 4 persen yang tenaga ahli utama.
Syarif berharap, melalui program sertifikasi, semakin banyak tenaga kerja konstruksi yang meningkatkan kompetensinya, termasuk untuk tenaga ahli. Sebab, saat ini proporsi tenaga ahli tidak seimbang karena jumlah tenaga ahli utama jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tenaga ahli madya dan muda.
Pada kesempatan itu, peserta dari Dairi, Javen Hutasoit (55), mengaku telah mengikuti uji sertifikasi untuk kedua kalinya. Sekitar tiga tahun lalu, Javen mengikuti sertifikasi tenaga kerja konstruksi sebagai tenaga terampil di bangunan atau sebagai tukang. Kali ini, dia mengikuti uji sertifikasi sebagai tenaga terampil dalam pengecatan dan penyelesaian bangunan.
”Sertifikasi ini supaya kita bisa kerja di desa. Nanti kalau ada proyek dari dana desa, kita bisa kerja karena sudah punya sertifikat,” kata Javen. (NAD)