JAKARTA, KOMPAS — Merebaknya penyakit nekrosis akut pada hepatopankreas (AHPND) pada udang yang menimbulkan kematian dini masih perlu ditelusuri pola dan penyebabnya. Selain itu, diperlukan antisipasi penyebaran dengan manajemen budidaya serta tata niaga benur dan induk.
Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto, akhir pekan lalu, menyatakan, dibutuhkan penelusuran lebih lanjut apakah indikasi penyakit AHPND di Indonesia serupa dengan yang terjadi di beberapa negara tetangga. Ia menilai, serangan AHPND di Indonesia tidak mewabah dan menimbulkan kematian massal seperti halnya di Thailand dan Vietnam.
Di Thailand dan Vietnam, penyakit sindrom kematian dini akibat AHPND sempat berkembang tahun 2010 yang mengakibatkan kematian massal udang dan produksi udang anjlok. Sementara di Indonesia, penyakit tersebut sejauh ini terpencar di beberapa lokasi dan tidak menimbulkan kematian massal.
”Banyak faktor yang menyebabkan kematian udang. Ada kecenderungan AHPND yang terjadi di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di negara tetangga,” kata Iwan.
Menurut dia, kasus kematian udang tersebut berangkat dari benur (benih udang) yang tidak sehat. Oleh karena itu, benih yang dijual harus bebas dari penyakit. Selain itu, diperlukan optimalisasi pemanfaatan fasilitas laboratorium milik pemerintah untuk penelusuran terhadap penyakit udang.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis berkembangnya penyakit nekrosis akut pada hepatopankreas (AHPND) pada udang. Penyakit itu memicu kematian udang pada umur di bawah 30 hari sejak tebar.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menyatakan, pihaknya akan mengusulkan kepada Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Pangan (BKIPM) KKP untuk menambah persyaratan bebas APHND dalam perizinan lalu lintas benih dan induk udang. Hal ini untuk mengantisipasi penyebaran penyakit tersebut.
Secara terpisah, Kepala BKIPM KKP Rina menyatakan, pihaknya akan segera mewajibkan uji bebas APHND untuk semua udang yang dilalulintaskan. ”Unit pengelolaan teknis (UPT) karantina siap untuk melakukan itu dan metode uji cobanya sudah dikuasai,” katanya.
Slamet menuturkan, penyakit AHPND saat ini disinyalir berkembang di beberapa sentra produksi udang, antara lain di Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. ”Dampaknya (AHPND) adalah kematian udang pada usia muda, mirip dengan penyakit bintik putih,” katanya.
Selama ini, kasus kematian udang di Indonesia lebih banyak dipicu oleh penyakit, seperti kotoran putih (white feces), bintik putih (WSSV), dan myo (IMNV). Terkait itu, pemerintah telah melarang lalu lintas induk dan benih udang dari daerah yang terserang penyakit myo, taura syndrome virus, dan bintik putih.
Ia menambahkan, merebaknya penyakit udang, termasuk AHPND, diduga akibat benih dan pakan yang terkontaminasi penyakit serta manajemen lingkungan tambak yang buruk.
April 2017, pemerintah menerbitkan Surat Edaran Nomor 2242/DPB/TU.210.S4/IV/2017 tentang Larangan Penggunaan Benur asal Negara Terkena Wabah Sindrom Kematian Dini (EMS)/AHPND. Negara-negara itu antara lain China, Vietnam, Thailand, Malaysia, Meksiko, Filipina, dan India. Selain itu, Honduras, Ekuador, Belize, dan Kosta Rika juga positif AHPND.