JAKARTA, KOMPAS — Calon wakil presiden nomor urut 01, Ma’ruf Amin, dinilai mengejutkan publik saat tampil pada debat ketiga pemilihan presiden, Minggu (17/3/2019) malam. Ma’ruf mampu mendominasi percakapan warganet di media sosial. Dia juga mampu mengubah persepsi publik yang menganggapnya pasif saat debat pertama.
Debat ketiga Pilpres 2019 menghadirkan calon wakil presiden Ma’ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno. Tema yang diangkat pada debat ini ialah pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan ketenagakerjaan. Pertarungan kedua kubu dalam berdebat pun menjadi bahan perbincangan di media sosial.
Senin (18/3/2019), lembaga yang melakukan monitor dan analisis percakapan di media sosial, PoliticaWave, memaparkan hasil pantauannya di media sosial yang dilakukan pada Minggu, 17 Maret. Ma’ruf mendominasi percakapan warganet dengan jumlah percakapan sebesar 58,26 persen dengan perbandingan 98 persen sentimen positif dan 2 persen sentimen negatif.
Sementara itu, Sandi mendapatkan jumlah percakapan sebesar 41,74 persen dengan perbandingan jumlah sentimen positif sebesar 79 persen dan mendapat 21 persen sentimen negatif.
Kepala Analitik PoliticaWave Nadia Shabilla mengatakan, salah satu faktor Ma’ruf lebih mendominasi daripada Sandi ialah solidnya para pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 01 menaikkan tagar #WapresKuKyai dari sore beberapa jam sebelum debat dimulai hingga sepanjang debat.
”Penampilan Ma’ruf ini memang ditunggu-tunggu banyak warganet dibandingkan Sandi karena untuk Sandi, warganet sudah pernah melihat dirinya tampil debat sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017,” kata Nadia.
PoliticaWave mencatat, hal positif yang diperbincangkan warganet terkait Ma’ruf adalah penampilan Ma’ruf lebih tenang dan santai, program Globalisasi Budaya yang dipuji warganet, serta pujian terhadap ide program Opera House.
Paparan Ma’ruf terkait lapangan kerja dipandang memiliki konsep yang jelas dan memberikan gagasan berdasarkan data. Ma’ruf juga dinilai mampu memaparkan terkait penanganan stunting atau tengkes secara jelas dan rinci. Secara keseluruhan, penyampaian Ma’ruf dinilai melebihi ekspektasi warganet.
Adapun kekurangan Ma’ruf ialah cara penyampaiannya seperti menghafal dan ceramah, banyak yang tidak paham dengan maksud #10YearsChallenge, serta tidak paham dengan pernyataan ”Infrastruktur Langit”.
Ma’ruf juga disindir karena membaca teks. Selain itu, programnya dipandang menggunakan banyak kartu.
Di sisi lain, hal positif dari Sandi ialah terkait janjinya menghapus ujian nasional dan program ”22 menit olahraga” serta ”Rumah Siap Kerja” yang dipandang positif oleh warganet. Selain itu, program Sedekah Putih dianggap solutif untuk ibu yang susah mengeluarkan air susu ibu (ASI).
Warganet juga mengapresiasi cara penyampaian Sandi pada saat penutupan debat.
Adapun hal negatif yang dibicarakan warganet terkait Sandi ialah OK OCE dianggap gagal, tetapi masih dipromosikan. Ia juga dinilai tidak sopan menyinggung usia Ma’ruf.
Sandi juga disindir karena diam-diam melihat contekan. Pernyataan Sandi pernah menjadi pengangguran juga disangsikan warganet. Seringnya Sandi mengangkat kisah seseorang juga dipandang negatif.
Cara penyampaian jawaban Sandi juga dinilai kurang meyakinkan dan serupa saat debat Pilkada DKI 2017. Ia terlihat tidak menguasai permasalahan ASI dan tengkes.
Kejutkan publik
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, Ma’ruf mampu mengejutkan publik, sedangkan Sandiaga lebih stabil.
”Ma’ruf mampu menjadi bintang dalam debat kemarin malam karena tidak terbebani oleh ekspektasi yang tinggi,” kata Yunarto.
Menurut dia, publik meragukan kemampuan Ma’ruf dalam berdebat karena pada debat pertama ia terlihat pasif.
Namun, persepsi tersebut berubah karena Ma’ruf terlihat lebih siap mulai dari pembukaan sampai akhir. Bahkan, Ma’ruf mampu berdebat dengan ditopang data. ”Ia sangat paham dan menguasai data terkait tengkes,” lanjutnya.
Yunarto menuturkan, Ma’ruf juga mampu mengikuti perkembangan zaman. Ma’ruf dapat lepas dari pandangan publik yang menganggapnya sudah tua dan seorang ulama.
Di sisi lain, Sandi hanya berada pada tataran narasi. Namun, ia memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan Prabowo saat berdebat dengan Joko Widodo.
Menurut Yunarto, Sandi memiliki modal yang besar dalam berdebat. Sayangnya, ia terpenjara dalam narasi sempit dari Prabowo yang berkutat soal tenaga kerja asing.