Kasus Kekerasan terhadap Anak Kebanyakan Tidak Dilaporkan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kendati kekerasan terhadap anak terus terjadi di tengah masyarakat, di daerah belum ada lembaga layanan khusus untuk menangani anak-anak korban kekerasan. Akibatnya, tidak banyak kasus-kasus kejahatan terhadap anak yang dilaporkan dan sampai ke pengadilan.
“Data nasional tentang kejahatan anak yang saya rujuk dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menyebutkan anak yang menjadi korban kejahatan di Indonesia mencapi 247.610 anak. Dari jumlah tersebut, ternyata sebanyak 80 persen dari jumlah itu tidak mau proses kekerasan kepada polisi. Artinya ada 198.088 kasus yang tidak dilaporkan ke polisi,” ujar Ahmad Sofian, Koordinator Nasional ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes) Indonesia, di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Tampil berbicara pada Dialog Media bertema “Kolaborasi dalam Pencegahan, Pendampingan, Pemulihan dan Penguatan Kelembagaan Lembaga Layanan dalam Perlindungan Khusus Anak Menuju Kota Layak Anak” di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Sofian menegaskan perlunya kehadiran lembaga yang khusus melayani anak-anak korban kejahatan menjadi sangat penting untuk melindungi anak-anak.
Sofian yang tampil berbicara bersama Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Anak KPPPA) dan Seto Mulyadi, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) memaparkan data BPS 2016, anak yang menjadi korban kejahatan di Indonesia, 247.610 anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 80 persen tidak mau proses kekerasan kepada polisi, ada 198.088 kasus tidak dilaporkan ke polisi.
Dari kasus-kasus tersebut, menurut Sofian, ternyata 30 persen anak yang menjadi korban 74.283 anak adalah korban kekerasan dan eksploitasi seksual. “Pertanyaannya kenapa hanya 20 persen yang mau laporkan ke polisi, apa pekerjaan lembaga layanan anak di Indonesia?” ujarnya.
Sedikitnya laporan ke aparat penegak hukum, mengenai anak-anak yang korban kejahatan, selain karena tidak ada institusi khusus yang memberikan layanan khusus kepada anak-anak korban kejahatan, hal itu juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. “Perlu ada lembaga layanan di daerah yang melayani 24 jam anak-anak korban kekerasan”, katanya.
Kabupaten/kota Layak Anak
Nahar menyatakan, perlindungan anak mendapat perhatian utama dari KPPPA. Ada sejumlah program yang dilaksanakan KPPPA dan pemerintah daerah dalam melindungi anak-anak dari berbagai kekerasan. Salah satunya adalah membuat sistem perlindungan anak dengan model Kabupatan/Kota Layak Anak (KLA), yang pelaksanaannya diatur sedemikian rupa dan fokus pada tiga hal.
Selain pencegahan kekerasan terhadap anak yang membutuhkan banyak pihak, perhatian juga pada penyediaan layanan perlindungan khusus, baik di pusat, provinsi, kabupaten/kota serta penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan.
“Tiga pola ini dilakukan di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Melalui KLA semua provinsi, kabupaten/kota diharapkan bisa memenuhi unsur pencegahan, layanan, kemudian menguatkan sumber daya manusia, sehingga pemenuhan hidup hak anak, tumbuh kembang anak bisa dijamin,” ujarnya.
Nahar menyatakan, KPPPA membuat sistem perlindungan anak dengan sistem model Kabupatan/Kota Layak Anak (KLA), yang pelaksanaannya diatur sedemikian rupa dan fokus pada tiga hal. Di KPPPA ada unit pengaduan dan konsultasi anak melalui Telepon Sahabat Anak (TeSa) melalui akses telepon bebas pulsa lokal di nomor 129, dan unit pengaduan dengan nomor telepon 082125751234.
Adapun Seto Mulyadi mengatakan, perlu ada pemberdayaan masyarakat sampai tingkat bawah untuk melindungi anak-anak. Ia mencontohkan model perlindungan anak yang sampai di tingkat rukun tetangga efektif melindungi anak-anak.
“Kami perbanyak LPAI di kabupaten/kota. Di tingkat bawah yakni RT pada tahun 2011 kami merintis bersama Walikota Tangerang Selatan membentuk seksi perlindungan anak tingkat RT yang disingkat Sparta. Ini sudah diikuti di daerah lain,” ujar Seto.