Selain Romahurmuziy, Pejabat di Kementerian Agama Diamankan KPK
Oleh
ANDREAS YOGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Selain Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengamankan empat orang lain dalam operasi tangkap tangan di Jawa Timur, Jumat (15/3/2019). Namun KPK masih merahasiakan identitasnya. KPK hanya menyebut, mereka berlatar belakang anggota DPR, pengusaha, dan pejabat di Kementerian Agama.
"KPK belum bisa menyebutkan siapa saja orangnya, karena sesuai hukum acara, berlaku paling lama 24 jam untuk penentuan status hukum perkara, apakah masih penyelidikan atau penyidikan sehingga ditetapkan siapa saja tersangkanya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Kelima orang itu menurut Febri, diamankan di beberapa tempat berbeda. Saat ini, kelimanya diamankan di Polda Jawa Timur untuk diperiksa lebih lanjut.
Setelah penyelidikan di markas Polda Jawa Timur tuntas, KPK rencananya akan membawa orang-orang yang diamankan dalam operasi tangkap tangan, ke Kantor KPK di Jakarta. Rencananya mereka dibawa malam ini.
Terjerat korupsi
Untuk diketahui, Romahurmuziy menjadi ketua umum PPP kedua yang terjerat kasus korupsi. Namun tak hanya ketua umum PPP saja yang pernah terjerat korupsi. Setidaknya ada tiga ketua umum partai politik lain yang juga korupsi. Inilah nama-nama para mantan ketua umum partai tersebut :
Setya Novanto
Pada 24 April 2018, mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta. Novanto terbukti melakukan kolusi bersama pengusaha Andi Agustinus dalam pengadaan KTP-el.
Sejumlah pertemuan yang dilakukannya bersama Andi, Johannes Marliem, pihak Kementerian Dalam Negeri, pihak parlemen, hingga pihak swasta lainnya menunjukkan peran Novanto dalam mengatur pembentukan konsorsium peserta lelang proyek KTP-el, skema pembagian fee, hingga distribusi jatah kepada dirinya melalui transaksi terselubung lewat jasa valuta asing.
Suryadharma Ali
Sebelum Setya Novanto, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali juga tersandung korupsi. Ia divonis 6 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama pada 11 Januari 2016.
Majelis hakim menilai, Suryadharma telah menyalahgunakan kewenangannya selaku Menteri Agama terkait penunjukkan petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan petugas pendamping Amirul Hajj.
Terkait penyelenggaraan ibadah haji pula, Suryadharma dikaitkan dengan kewenangannya meloloskan tawaran dari seorang pengusaha di Arab Saudi untuk penyewaan rumah bagi jemaah haji. Padahal, penginapan yang ditawarkan tidak sesuai kriteria dan telah ditolak berulang kali pada tahun sebelumnya.
Tidak hanya itu, Suryadharma juga dikaitkan dengan usahanya memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hal itu tercium dari penggunaan dana operasional menteri (DOM) sekitar Rp 1,8 miliar selama 2011-2014.
Anas Urbaningrum
Kemudian sebelum Suryadharma, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga terjerat korupsi. Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 September 2019, menjatuhkan vonis bersalah dan menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara. Majelis hakim menilai Anas terbukti menerima gratifikasi satu mobil Toyota Harrier senilai Rp 670 juta, satu mobil Toyota Vellfire senilai Rp 735 juta, kegiatan survei senilai Rp 478,63 juta, serta uang Rp 116,5 miliar dan 5,22 juta dollar AS atau setara Rp 50 miliar.
Uang gratifikasi itu berasal dari fee proyek sarana olahraga terpadu Hambalang dan proyek APBN yang diurus Anas dan M Nazaruddin melalui perusahaan Anugerah Nusantara dan Grup Permai. Gratifikasi tersebut, menurut majelis hakim, sebagian digunakan Anas untuk kepentingannya dalam pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat saat kongres di Bandung, Mei 2010.
Luthfi Hasan Ishaaq
Kemudian pada 15 September 2014, kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman penjara 18 tahun penjara kepada Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Tidak hanya itu, dalam putusan kasasi, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.
Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi. Luthfi terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dan sebagian di antaranya, yaitu senilai Rp 1,3 miliar, telah diterima melalui Ahmad Fathanah. (ERIKA KURNIA)