Para guru pendidikan anak usia dini dari lembaga nonformal menilai Undang-Undang Guru dan Dosen diskriminatif.
JAKARTA, KOMPAS – Guru-guru pendidikan anak usia dini dari lembaga non formal meminta kesetaraan hak terkait berbagai tunjangan serta kesempatan pengembangan kompetensi dari pemerintah. Mereka memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk meninjau ulang Undang-Undang Guru dan Dosen terkait definisi dan kriteria guru PAUD.
Uji materi undang-undang itu diajukan oleh Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi). Sidang uji materi UU Guru dan Dosen itu dilakukan di Mahkamah Konstitusi di Jakarta pada Kamis (14/3/2019) dipimpin Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman. Adapun pihak pemohon diwakili kuasa hukum Yusril Ihza Mahendra dan tim.
Ketua Umum Himpaudi Netti Herawati menjelaskan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa PAUD merupakan pendidikan untuk anak-anak berusia 0-6 tahun. Satuan pendidikannya terdiri dari formal dan nonformal. PAUD formal berbentuk taman kanak-kanak (TK) dan raudhatul athfal (RA). Adapun definisi PAUD nonformal adalah kelompok belajar, tempat penitipan anak, dan satuan PAUD sejenis seperti Sekolah Minggu.
“Namun, Undang-Undang Guru dan Dosen hanya mengakui status ‘guru’ bagi para pengajar di PAUD formal. Sebaliknya, para pengajar di PAUD nonformal tidak dianggap sebagai guru,” tuturnya.
Padahal, dari segi kompetensi mereka setara. Berbagai aturan turunan seperti peraturan mendikbud dan peraturan pemerintah mensyaratkan guru-guru PAUD harus berijazah minimal S1 dan memiliki sertifikasi pendidik. Kenyataannya, tidak semua guru TK dan RA memiliki ijazah S1, demikian pula dengan guru PAUD nonformal. Kedua jenis guru sama-sama mengikuti diklat berjenjang untuk meningkatkan kompetensi, tetapi guru nonformal tidak diberi tunjangan sertifikasi.
“Pada Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, guru PAUD nonformal tidak dimasukkan ke dalam kuota peserta. Himpaudi memohon kepada Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) agar memberi slot bagi 60.000 guru PAUD nonformal agar kapasitas mereka bisa diukur,” ujar Netti. Setelah hasil UKG keluar, guru-guru tersebut tidak dimasukkan ke dalam skema pemerintah untuk peningkatan kemampuan guru secara sistematis.
Diskriminasi
Netti mengutarakan bahwa Himpaudi memohon agar aturan mengenai pemberian tunjangan sertifikasi dan pelatihan di UU Guru dan Dosen meliputi guru PAUD nonformal. Jangan ada diskriminasi hanya karena perbedaan tempat mengajar. Diskriminasi memengaruhi psikologis guru dan berisiko berimbas kepada mutu pengajaran yang diberikan.
Psikolog pendidikan dari Universitas Airlangga Nur Ainy Fardana yang menjadi saksi ahli pemohon menerangkan, setiap tahap tumbuh kembang anak memiliki spesifikasi pendidikan. Butuh guru yang mumpuni dalam mengarahkan anak mengenal dirinya, lingkungan, dan berbagai aturan yang ada di sekitar. Oleh sebab itu, semua tahapan PAUD sangat penting. Tidak ada satu tahap yang bisa dinomorduakan dari segi pemberian layanan pendidikannya.
Ganti aturan
Staf Ahli Mendikbud Bidang Kebijakan Chatarina Muliana Girsang yang hadir sebagai perwakilan pemerintah mengatakan, tidak perlu mengubah pasal yang ada dalam UU Guru dan Dosen. Justru, yang perlu diperbaiki ialah aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Mendikbud 137/2014 tentang Standar PAUD guna menegaskan perbedaan dari guru PAUD formal dengan nonformal.
“PAUD nonformal untuk anak berusia 0-4 tahun dan pendidikan di dalamnya bersifat nonskolastik, yaitu kemampuan berkomunikasi dan kemandirian. Pengajarnya tidak disyaratkan untuk memiliki ijazah S1 atau pun bersertifikat. Sebaliknya, PAUD formal untuk usia 4-6 tahun bersifat skolastik yang sudah membahas tentang konsep dan aturan. Butuh guru dengan kompetensi yang menyaratkan S1,” paparnya. Dari segi tunjangan, guru PAUD nonformal mendapat tunjangan profesi, tetapi tidak tunjangan sertifikasi.