Pemetaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran diperlukan agar pelatihan yang dilakukan dapat berjalan dan efektif menjawab kebutuhan guru.
JAKARTA, KOMPAS — Pelatihan guru berbasis zonasi diharapkan bisa berlangsung sesuai dengan kebutuhan setiap daerah. Akan tetapi, hingga kini guru-guru umumnya mengutarakan belum banyak terjadi perubahan dengan pelaksanaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran di setiap zona.
"Pantauan di Bima (Nusa Tenggara Barat), Bengkulu, Garut (Jawa Barat), bahkan di DKI Jakarta, pelatihan guru berbasis Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) belum berjalan," kata Sekretaris Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (13/3/2019).
Satriawan mengatakan, FSGI meminta agar pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta pemerintah daerah melalui dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota memetakan MGMP. Pasalnya, tidak semua MGMP aktif berjalan, apalagi di wilayah dengan kondisi geografis yang sulit membuat guru-guru kepayahan untuk melakukan pertemuan rutin mingguan maupun bulanan.
FSGI meminta agar pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota memetakan MGMP.
"Kategori MGMP bisa dibagi menjadi bagus, cukup, dan kurang. Melalui pemetaan ini, pendekatan ke setiap MGMP juga berbeda," kata Satriawan.
Ia menuturkan, niat membuat pelatihan berbasis MGMP adalah agar materi pelatihan benar-benar sesuai dengan keperluan guru di lapangan dengan segala permasalahan unik yang mereka hadapi, bukan dirancang berdasarkan kacamata ibu kota.
Melalui cara itu, substansi pelatihan diharapkan bisa menjawab kebutuhan guru. Apalagi pelatihan lewat MGMP ini bisa bersifat rutin dan semakin mendalam di setiap sesinya karena tidak massal dari segi jumlah peserta.
Pelatihan selama ini dinilai kurang dari segi pemantauan proses dan evaluasi hasilnya. Semestinya, ada evaluasi berkala terhadap guru yang bersangkutan, kemampuan guru inti atau pun pelatih menurunkan ilmu, dan bentuk materi yang diberikan. Harus ada pula evaluasi dari proses pembelajaran di kelas seusai guru mengikuti pelatihan sehingga bisa dilakukan pembenahan.
Tergantung anggaran
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia M Ramli Rahim menjelaskan, saat ini masalah dalam pelatihan guru sangat bergantung kepada anggaran pemerintah. Hal ini tidak lepas dari mentalitas yang ada pada para pendidik itu sendiri.
"Kita belum bisa sepenuhnya melakukan inisiatif dengan terobosan baru di MGMP karena kegiatan berjalan hanya ketika ada anggaran dan perintah dari atas," ucapnya. Oleh karena itu, langkah yang harus diambil adalah mengubah pandangan pelatihan guru dari kewajiban menjadi inisiatif dan kebutuhan guru.
Kita belum bisa sepenuhnya melakukan inisiatif dengan terobosan baru di MGMP karena kegiatan berjalan hanya ketika ada anggaran dan perintah dari atas.
Sekretaris Jenderal Kemdikbud Didik Suhardi memaparkan bahwa dari 3,17 juta guru sudah ada 1,6 juta orang yang tercatat mengikuti diklat peningkatan kompetensi. Akan tetapi, jumlah diklat yang diikuti bervariasi.
MGMP, kepala sekolah, guru, dan dinas pendidikan juga didorong agar bekerja sama dengan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) karena organisasi ini merupakan perpanjangan tangan Kemdikbud di tingkat daerah. Rencananya, melalui LPMP pula pengawasan pelaksanaan pelatihan guru dilakukan.
"Setiap tahun rapor hasil Ujian Nasional di setiap sekolah dikirim ke dinas pendidikan. Di dalamnya ada detail mengenai semua aspek permasalahan yang khas tidak hanya di setiap zona, tetapi juga per sekolah. LPMP mulai mengawasi dinas pendidikan agar peta hasil UN itu digunakan sebagai landasan pelatihan guru dan pembuatan kebijakan," katanya.