Yuk, Berberes Setelah Makan
Pembeli atau konsumen adalah raja jadi slogan yang membuat kita merasa pantas untuk dilayani sebaik-baiknya. Tidak heran jika budaya dilayani masih kuat melekat di keseharian masyarakat, termasuk generasi muda.
Namun, kini ada tren yang mulai berkembang. Beberapa tempat makan, seperti kantin kampus, pusat jajan di mall, maupun restoran cepat saji memberlakukan self service (melayani sendiri). Selama ini, kalau cuma memesan makanan dan membawa sendiri ke meja sih, sudah biasa.
Nah, kali ini sebagai pembeli, kita diajak melayani sendiri supaya lebih peduli dan menjaga kebersihan tempat makan. Konsumen di tempat makan umum diajak agar mau melangkah lebih jauh lagi, dengan membereskan alat makan di meja yang dipakai. Sampah sisa makanan juga dimasukkan ke tempat sampah yang sesuai jenisnya.
Salah satu tempat yang sudah memberlakukan self service adalah kantin Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. Semua pembeli harus membereskan sendiri alat makan yang sudah dipakai.
Usai makan, pengunjung yang sebagian besar mahasiswa meletakkan nampan di meja tersendiri. Sebelumnya, semua sisa makanan harus dibuang sesuai dengan tempat sampah yang sudah disediakan. Sampah seperti botol plastik minum dan tisu ke tempat sampah non organik dan sisa makanan seperti nasi dan sayur yang tidak habis ke tempat khusus sisa makanan.
Tak heran, jika kantin sehat FKM nampak bersih dan rapi. Saat jam makan siang yang ramai pengunjung, tidak terlihat ada orang yang mengantre menunggu meja dibersihkan petugas. Setiap pengunjung yang datang, langsung siap menempati kursi dan meja yang kosong, yang selalu dalam keadaan bersih dan rapi.
“Awalnya sih agak kagok ya, semua serba melayani sendiri. Tapi karena di kantin aturannya sudah begitu, ya terbiasa juga. Cuma butuh penyesuaian satu sampai dua hari sih,” kata Hilmy Braviyanto, mahasiswa FKM UI.
Awalnya sih agak kagok ya, semua serba melayani sendiri. Tapi karena di kantin aturannya sudah begitu, ya terbiasa juga. Cuma butuh penyesuaian satu sampai dua hari sih.
Hilmy mengaku di rumah dia terbiasa dilayani. Untuk menaruh alat makan dari meja makan menuju dapur yang terpisah, dirinya suka malas. “Belajar dari kebiasaan di kantin yang serba self service dan harus bertanggung jawab sampai memilah sampah sisa makan, lama-lama jadi kebiasaan. Berefek juga ke rumah,” kata Hilmy.
Sementara itu, bagi Julian, mahasiswa profesi kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, membereskan alat makan setelah makan di tempat umum sudah tak asing lagi. Dia terlatih karena sang ibu yang menanamkan kebiasaan tersebut di rumah.
“Saya merasa ajakan untuk berberes di tempat makan umum itu, ajakan yang baik. Kan membantu berempati juga pada petugas. Jadi, ya saya mulai saja dari diri sendiri,” ujar Julian.
Meski di kantin kampusnya belum berlaku self service, Julian selalu berberes setelah makan. Setidaknya, dia akan menumpuk bekas alat makan dan sampah di temgah meja. “Saya melakukan saja beresin sendiri meja, kadang piring teman juga ditaruh di tengah. Ada juga teman yang ngeliat yang ikut beresin. Saya begitu saja melakukannya,” ujar Julian.
Kebiasaan baik
Manager Kerja sama, Ventura, Hubungan Alumni dan Keuangan FKM UI Asih Setiarini mengatakan, konsep kantin sehat dan self service di FKM UI dimulai sejak 2014. Saat ini, kantin tersebut menjadi rujukan seluruh lingkungan kampus UI.
“Kantin atau tempat makan jika tidak dikelola dengan baik, bisa jadi sumber penyakit. Meja yang berisi piring kotor dan sampah sisa makanan yang tidak segera dibereskan bisa mengundang lalat. Padahal, petugas belum tentu bisa cepat. Mengapa tidak, tempat makan bersama ini juga dibantu semua orang dengan menjaga kebersihan bersama,” kata Asih.
Menurut Asih, sebenarnya tidak sulit untuk mengajak mahasiswa berubah dan mau melakukan berberes usai makan. “Karena dipaksa, jadi terbiasa ya. Yang penting sosialiasi dan dibuatkan alurnya yang mudah. Ajakan ini melatih disiplin dan kepedulian lingkungan, baik dari sisi sampah makanan, sanitasi, kebersihan,” jelas Asih.
Tahun ini, salah satu restoran cepat saji, KFC mengkampanyekan Budaya Beberes di semua gerainya. Sayangnya, kampanye ini menuai pro kontra. General Marketing PT Fast Food Indonesia Tbk Hendra Yuniarto mengatakan, budaya beberes ini diyakini punya dampak yang baik bagi konsumen. Salah satunya, mengajak sesama konsumen bertoleransi dengan meninggalkan meja makan dalam keadaan bersih sehingga siap untuk konsumen berikutnya.
“Budaya Beberes ini juga merupakan langkah untuk mengajak masyarakat terlibat langsung dalam proses pemilahan sampah. Mereka jadi biasa memilah sampah non organik dan organik. Kami juga berkomitmen menerapkan manajemen pengelolaan sampah yang baik,” jelas Hendra.
Kampanye Budaya Beberes dari KFC Indonesia, ujar Hendra, memang menghadapi tentangan dari kaum milenial. Namun, dengan sosialisasi yang terus-menerus di media sosial yang digandrungi anak muda, diharapkan ajakan ini bisa disambut lebih positif.
Menurut Hendra, memang butuh waktu bagi masyarakat, termasuk para milenial untuk bisa mengimplementasikan kebiasaan baik tersebut. “Kita kan tidak terbiasa, karena itu kita terus kampanyekan. Seperti gerakan untuk mengehentikan sedotan plastik sekali pakai, awalnya juga ditentang. Tapi lama-lama karena dibiasakan, masyarakat mulai menerima,” jelas Hendra.
Perubahan untuk mengajak perilaku masyarakat yang peduli pada masalah kebersihan di tempat umum dan kepedulian untuk mengelola sampah sisa makanan dengan baik, memang butuh waktu. Di sejumlah kampus, ternyata kantin kampus juga sudah mewajibkan pengunjung untuk melakukan beberes usai makan.
Hal senada disampaikan Pendiri Komunitas Menata Keluarga (Emka) Melly Kiong mengakui, tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah lama terbiasa. “Bahkan, saya di rumah juga butuh waktu hingga dua tahun untuk membuat anak kami bertanya mengapa saya membereskan piring. Kebiasaan lama yang sudah ada di keluarga minimal menumpuk alat makan di tengah usai makan,” ujar Melly yang juga praktisi pengasuhan keluarga.
Melly mengatakan, orang tua harus konsisten menjadi contoh. Anak juga diajak berpikir dengan menempatkan diri sebagai pelayan restoran yang selalu ingin meja bersih. “Saya cuma ajak dia untuk mau berbuat kebaikan, ya dengan membantu petugas restoran. Sederhana saja caranya, ya membereskan meja supaya jangan jorok,” kata Melly.
Menurut Melly, komunitas Emka yang mendorong para orang tua menerapkan pengasuhan Mindful Parenting, tentu dapat memanfaatkan ajakan berberes usai makan di tempat makan umu ini untuk menumbuhkan rasa empati dan peduli para sesama dari generasi milenial.
“Jadi kebiasaan ini sangat baik. Jika ada alasan yang jelas buat restoran yang memberlakukan self service ini dengan nilai nilai yang positif dan bisa diterima oleh anak anak muda, tentunya akan lebih mudah diterapkan,” kata Melly.