Sainte Lague dan Derajat Proporsi Suara
Berbeda dengan pemilu terdahulu, Pemilu 2019 menerapkan Sainte Lague sebagai mekanisme konversi suara pemilih menjadi kursi legislatif. Perubahan metode ini bisa lebih memperkuat derajat proporsionalitas perolehan kursi partai politik.
Metode hitung adalah mekanisme elektoral untuk mengubah suara yang diraih partai politik sebagai hasil akhir dari kontestasi pemilu menjadi kekuatan politik. Perubahan metode konversi suara ke kursi, dari model hitung Kuota Hare pada pemilu terdahulu menjadi metode Sainte Lague pada Pemilu 2019, diyakini lebih mengembalikan derajat proporsionalitas suara yang diraih parpol.
Metode Sainte Lague, yang kemudian dikenal juga sebagai metode Divisor dengan bilangan pembagi ganjil, yakni 1, 3, 5, 7, dan seterusnya, lebih membuka ruang proporsional bagi perolehan suara partai. Partai yang memperoleh suara sah lebih besar lebih berpeluang mendapat kursi dibandingkan partai yang suaranya lebih kecil.
Di metode kuota yang terakhir diterapkan pada Pemilu 2014, hampir semua parpol memiliki kesempatan yang relatif sama meraih kursi, baik suara tinggi, sedang, maupun rendah. Metode kuota menerapkan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yang didapat dari total suara sah dibagi jumlah kursi yang diperebutkan di satu daerah pemilihan (dapil). BPP ini jadi ”harga” satu kursi di dapil tersebut. Perolehan kursi ditentukan dalam dua tahap. Tahap pertama dikhususkan bagi partai politik yang suaranya memenuhi atau melebihi BPP. Partai yang suaranya sama atau lebih besar dari BPP otomatis meraih kursi. Berapa kali lipat suara sah yang didapat parpol dibandingkan BPP, maka sejumlah itu pula kursi didapat.
Jika masih ada sisa kursi belum terbagi, penghitungan dilanjutkan ke tahap kedua dengan cara membagi sisa kursi kepada partai dengan perolehan sisa suara terbesar. Bagi partai yang sudah mendapatkan kursi pada tahap pertama, posisi jumlah suaranya di tahap kedua ini adalah sisa suara setelah dikurangi angka BPP sesuai jumlah kursi di tahap pertama.
Dari metode ini jelas terlihat ”harga” satu kursi di tahap pertama dan kedua berbeda. Partai-partai dengan perolehan suara sedang berpeluang dapat kursi pada tahap kedua tersebut meskipun suaranya tak memenuhi BPP. Faktor ini yang membuat metode kuota dinilai para pakar politik ”mengabaikan” derajat proporsional.
Sementara metode Sainte Lague yang diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2019 relatif lebih proporsional dibanding metode kuota. Metode ini dilakukan dengan cara membagi semua perolehan suara partai dengan bilangan ganjil (1, 3, 5, 7,...). Hasilnya lalu diurutkan dari suara teratas sampai terbawah. Jumlah partai yang meraih kursi diurutkan sesuai jumlah kursi yang diperebutkan di dapil itu. Metode ini dinilai lebih membuka ruang bagi partai-partai dengan perolehan suara lebih besar mendapatkan kursi proporsional.
Simulasi
Hasil kajian Litbang Kompas melalui simulasi dari data hasil Pemilu 2014 di 77 dapil pemilihan anggota DPR RI (pada Pemilu 2019 menjadi 88 dapil) membuktikan derajat proporsionalitas itu. Secara umum, dengan metode Sainte Lague memang tidak banyak perubahan perolehan kursi partai politik, tetapi proses meraih kursi relatif lebih proporsional dibandingkan metode kuota.
Mari melihat contoh kasus di dapil berkursi banyak, seperti Kalimantan Barat dengan kuota 10 kursi DPR. Dari total suara sah di dapil ini 2.478.262, maka harga satu kursi (BPP) 247.826 suara. Dengan menggunakan metode kuota, hanya dua partai yang perolehan suaranya memenuhi BPP, yakni PDI-P dan Partai Golkar.
PDI-P meraih tiga kursi karena suaranya senilai tiga kali BPP. Sementara Golkar hanya meraih satu kursi karena suaranya senilai 1,4 BPP, dengan raihan 348.986 suara. Dari tahapan pertama, hanya empat kursi yang berhasil direbut, sedangkan enam kursi sisanya harus dibagi melalui tahapan kedua menggunakan sisa suara. Keenam kursi sisa itu diraih Gerindra, Nasdem, PPP, PAN, Demokrat, dan PKB dengan masing-masing satu kursi.
Sebagai pembanding ”harga” kursi, PKB yang meraih suara 117.937 ”menukar” kursi dengan harga 0,4 BPP. Sementara itu, Golkar harus ”menukar” satu kursi dengan harga 1,4 BPP. Kondisi ini tentu merugikan Golkar. Di dapil Kalbar, Golkar harus ”membeli” kursi dengan harga lebih mahal dibandingkan PKB.
Hasil simulasi Sainte Lague di dapil Kalbar memang menunjukkan tak ada perubahan perolehan kursi, tetapi derajat proporsional lebih menguat di metode Sainte Lague dibandingkan kuota.
Berbeda dengan dapil Kalbar, di dapil Gorontalo yang menyediakan tiga kursi DPR terjadi perubahan perolehan kursi akibat perubahan metode hitung. Jika mengacu hasil Pemilu 2014 dengan metode kuota, dua kursi diraih Golkar dan satu kursi Gerindra. Satu kursi yang diraih Gerindra diperoleh di tahap kedua (sisa suara). Jika dibandingkan satu kursi Golkar di tahap pertama, nilai kursi Golkar 1,5 BPP, sedangkan kursi Gerindra 0,2 BPP.
Kondisi ini berubah jika dihitung dengan menggunakan Sainte Lague. Dengan perolehan suara Golkar 310.790, ketiga kursi yang diperebutkan di dapil Gorontalo disapu bersih Golkar. Dari contoh kasus di dapil Gorontalo ini, penggunaan metode Sainte Lague tidak saja menjamin kursi yang diraih lebih proporsional dengan perolehan suara.
Proporsional
Banyak pihak menyebut perubahan metode konversi suara dari kuota menjadi Sainte Lague ini menguntungkan partai-partai besar. Padahal, prinsipnya, metode Sainte Lague lebih mengembalikan derajat proporsionalitas hasil pemilu.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz menyebut, sistem Sainte Lague secara prinsip mendorong proporsionalitas distribusi kursi partai di setiap dapil. ”Metode Sainte Lague memberikan jaminan keadilan dan perlakuan yang setara perolehan kursi setiap parpol berdasarkan porsi suaranya,” ujarnya.
Pada akhirnya, metode ini akan menjamin partai yang meraih suara lebih banyak berpeluang mendapatkan kursi. Derajat proporsionalitas inilah yang mengawal kontestasi politik agar kemudian mereka yang bersusah payah dan berkeringat mendulang suara dan dukungan lebih terjamin peluangnya mendapatkan kursi legislatif.