JAKARTA, KOMPAS — PT Freeport Indonesia berencana tidak membagi deviden tahun ini dan tahun depan. Sebab, penerimaan perusahaan turun sampai 50 persen karena produksi konsentrat merosot. Transisi dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah menyebabkan penurunan produksi tersebut.
Tahun ini adalah tahun terakhir pengambilan bijih atau mineral mentah dari tambang terbuka Grasberg yang dikelola Freeport di pegunungan terpencil di Kabupaten Mimika, Papua. Perusahaan tersebut mulai beralih ke penambangan bawah tanah secara penuh karena cadangan mineral di tambang terbuka Grasberg sudah habis. Grasberg ditambang sejak 1990 dan sampai tahun lalu menghasilkan 1,3 miliar ton bijih.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas mengatakan, penerimaan perusahaan merosot sampai 50 persen. Lantaran keuangan perusahaan defisit, Freeport menyatakan tidak ada pembagian deviden tahun ini dan tahun depan. Kas perusahaan diperkirakan mulai normal pada 2021 saat operasi tambang bawah tanah berjalan penuh.
Transisi dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah menyebabkan produksi turun.
“Deviden diberikan apabila ada kelebihan penerimaan perusahaan. Kami perkirakan tahun ini dan tahun depan tidak ada pembagian deviden,” kata Tony di Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Tahun lalu, Freeport memproduksi 2,2 juta ton konsentrat dan akan turun jadi 1 juta ton tahun ini. Penerimaan Freeport dari operasi tambang di Papua sepanjang 2018 mencapai 6,5 miliar dollar AS dan akan ikut merosot jadi 3,1 miliar dollar AS tahun ini. Penerimaan perusahaan akan berangsur pulih dan stabil tahun 2023 yang diperkirakan mencapai 7,4 miliar dollar AS di tahun itu.
Kendati tak ada pembagian deviden, perusahaan tetap berkomitmen mengalokasikan dana sosial bagi Papua. Dana sosial tahun ini diperkirakan 100 juta dollar AS. Selain itu, Freeport tidak mengurangi investasi untuk operasi penambangan bawah tanah yang rata-rata 1 miliar dollar AS per tahun.
Mengacu data perusahaan, Freeport terakhir kali menyetor deviden ke pemerintah tahun 2017 sebesar 135 juta dollar AS. Ketika itu kepemilikan saham pemerintah 9,36 persen. Per Desember 2018, saham pemerintah dialihkan ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sekaligus mengakuisisi saham Freeport hingga menjadi 51,23 persen.
Pada periode 2012-2016 Freeport tidak menyetor deviden karena tengah berinvestasi besar untuk tambang bawah tanah. Adapun tahun 2011, deviden yang disetor 202 juta dollar AS. Akumulasi deviden yang disetorkan ke pemerintah sejak 1992 sampai 2010 mencapai 1,085 miliar dollar AS.
Sebelumnya, Head of Corporate Communications & Government Relations Inalum, Rendi A Witular mengatakan, pekerjaan pascaakuisisi adalah memastikan peralihan dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah berjalan lancar. Masa transisi diperkirakan butuh waktu tiga tahun. Peralihan secara penuh akan dimulai pada 2019.
”Masa-masa transisi ini sangat krusial. Perlu keahlian dari Freeport selaku operator tambang. Oleh karena itu, sangat penting bagi Inalum menjaga agar tidak ada gangguan selama penambangan berlangsung,” kata Rendi.
Menurut Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif, tantangan terbesar pada masa transisi adalah menjaga tingkat produksi konsentrat yang berpengaruh langsung terhadap penerimaan perusahaan. Produksi konsentrat yang turun menyebabkan penerimaan perusahaan berkurang.