Menghadapi revolusi industri 4.0, Indonesia tidak harus fokus pada sektor manufaktur. Indonesia justru harus mampu mengoptimalkan berbagai bidang lain, termasuk dalam budaya, untuk diperkuat. Peran anak muda menjadi kunci.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Menghadapi revolusi industri 4.0 atau generasi keempat, Indonesia tidak perlu hanya terfokus pada sektor manufaktur. Optimalisasi sejumlah bidang lain, termasuk di bidang budaya, justru perlu diperkuat dengan mengandalkan peran anak muda.
Hal itu dikatakan Ekonom CORE Indonesia Hendri Saparini pada dialog nasional ”Kesiapan UMKM dan Ekonomi Kerakyatan di Era Revolusi Industri 4.0” oleh Perhimpunan Organisasi Alumni PTN Indonesia (Himpuni) di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (12/3/2019).
Menurut Hendri, terkait teknologi digital, infrastruktur akses internet sebenarnya sudah cukup merata. Namun, Indonesia belum memiliki produk bersifat global untuk dijual. ”Berbeda dengan China yang kuat pada manufaktur, kemudian didukung teknologi, lewat Alibaba dan Alipay,” katanya.
Karena itu, Indonesia dapat mencoba menjual keunggulan yang selama ini teruji secara internasional. ”Seperti paduan suara dan musik, yang sering kali menang di ajang internasional. Selanjutnya, tinggal seberapa besar kita mengembangkan bidang itu,” katanya.
Hendri menambahkan, ekonomi digital butuh ekosistem dan itu dapat dibangun anak-anak muda, yang kemudian berkolaborasi dengan pegiat digital. Lewat cara ini, Indonesia memiliki peluang yang nantinya dapat meningkatkan daya saing Indonesia di era digital.
Ekonomi digital butuh ekosistem dan itu dapat dibangun anak-anak muda, yang kemudian berkolaborasi dengan pegiat digital.
Pada akhirnya, teknologi harus memudahkan setiap orang untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi. ”Teknologi itu sendiri yang nantinya akan membesarkan ’kue’ ekonomi yang dimiliki Indonesia. Kendati demikian, bagaimanapun harus tetap ada keberpihakan kepada rakyat,” ujar Hendri.
Kepala Group Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK, Triyono, menambahkan, selama ini, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) amat besar. Namun, sebagian belum menjadi nasabah bank karena sejumlah keterbatasan.
Karena itu, UMKM tersebut merupakan pasar bagi perusahaan yang bergerak di bidang teknologi finansial (fintech). ”Selama ini, fintech lebih dilihat sisi negatif, padahal jika membiayai sektor produktif, akan benar-benar berkembang dan menguntungkan,” ujarnya.
Perusahaan yang bergerak di bidang fintech, lanjut Triyono, umumnya mengincar komunitas, serta koperasi. Dengan begitu, para pelaku UMKM yang tak mampu mengakses perbankan dapat mengembangkan usaha sehingga dapat menguntungkan semua pihak.
Sementara itu, Menteri Perhubungan, yang juga Koordinator Presidium II Himpuni, Budi Karya Sumadi mengatakan, pemerintah berusaha mengoptimalkan peran UMKM. ”Namun, ini perlu didukung oleh semua pihak, termasuk generasi milenial, sehingga akan meningkatkan daya saing negara,” katanya.