JAKARTA, KOMPAS – Generasi milenial hanya menyisihkan sebagian kecil penghasilannya untuk investasi. Hal itu menunjukkan tidak adanya kemampuan untuk mempersiapkan dana darurat pribadi. Oleh karena itu, berbagai perusahaan teknologi finansial mendorong penduduk muda untuk berinvestasi, salah satunya melalui emas digital.
Hal ini dikemukakan perencana keuangan sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Finansialku Melvin Mumpuni, Selasa (12/3/2019), di Jakarta. Menurut catatan lembaga pengelola keuangan dalam jaringan Finansialku, penduduk usia 20-40 mulai memasuki fase produktif seiring dimulainya jenjang karier. Dari gaji yang didapat, sekitar 51 persen dihabiskan untuk konsumsi kebutuhan bulanan.
Namun, hanya 2 persen yang diinvestasikan untuk dana darurat. Sementara itu, hanya 11 persen yang dialokasikan untuk tabungan. “Dampaknya, generasi milenial di Indonesia tidak aman secara keuangan,” kata dia.
Jika tidak memiliki dana darurat, seseorang bisa terancam bangkrut. Untuk mencapai keamanan finansial, kata Melvin, seseorang setidaknya harus memiliki dana darurat senilai enam kali sampai 12 kali jumlah pengeluaran untuk konsumsi setiap bulan. Sebagai ilustrasi, jika seseorang mengalokasikan Rp 5 juta untuk konsumsi dalam sebulan, dana darurat yang harus dimiliki berkisar Rp 30 juta-Rp 60 juta.
“Ini adalah bentuk manajemen risiko. Jika seseorang kehilangan sumber pemasukan, setidaknya ia dapat membiayai kebutuhannya sehari-hari selama enam hingga 12 bulan ke depan. Jika sakit hingga harus di rawat di rumah sakit, pengeluaran bulanannya tidak akan terganggu,” kata dia.
Dana darurat dapat disimpan dalam bentuk investasi yang aman, likuid, dan mudah dijangkau. Empat instrumen yang dinilai Melvin memenuhi kriteria tersebut adalah rekening tabungan, emas, reksa dana pasar uang, dan deposito.
Emas dapat menjadi instrumen lindung nilai terhadap inflasi dan harganya cenderung naik. Harga jual emas Antam, misalnya, pada 12 Maret 2019 adalah Rp 665.000 per gram, meningkat dari Rp 646.000 pada tanggal yang sama di 2018. Pada 12 Maret 2017, nilai emas Antam adalah Rp 580.000 per gram.
Adapun harga beli pada 12 Maret 2019 adalah Rp 593.000, naik dari Rp 577.000 per gram pada 2018. Pada 12 Maret 2017, harga beli hanya Rp 518.000.
Sementara itu, Head of Brand Development Treasury, Narantara Sitepu, mengatakan, investasi emas melalui platform dalam jaringan (daring) semakin diminati. Ia berharap, semakin banyak orang, terutama generasi milenial, memilih emas sebagai instrument penyimpan dana darurat.
Beberapa laman perdagangan emas antara lain Tamasia, EmasDigi, BukaEmas dan Treasury. Catatan Kompas, 14 Agustus 2018, Tamasia telah memiliki 75.000 pengguna yang didominasi kelompok usia 20-40 tahun.
Adapun 70 persen pengguna BukaEmas berusia 17-35 tahun. Pengguna dapat membeli emas mulai dari Rp 3.000.
Sejak didirikan pada November 2018, aplikasi Treasury telah diunduh 2.000 pengguna ponsel pintar. Sebanyak 60 persen pengguna berusia 25-35 tahun. Aplikasi ini memungkinkan pembelian emas digital dari UBS seharga Rp 20.000 atau seberat 0,03 gram.
“Kalau ada orang beli Rp 20.000, kami akan setorkan ke UBS dan emas bisa dimiliki secara digital. Pengguna bisa mencetak emasnya kalau sudah senilai 1 gram, tetapi ada biaya tambahan,” kata Narantara.
Untuk memudahkan pengguna, Treasury bekerja sama dengan pihak lain dalam metode pembayaran, yaitu dompet elektronik DOKU dan BNI. Sesama pengguna pun dapat mentransfer emas.
Regulator ganda
Narantara mengatakan, Treasury menargetkan 100.000 pengguna baru selama 2019. Meski demikian, Treasury belum mendapatkan izin resmi beroperasi dari pemerintah. Ada dua regulator yang memegang kunci perizinan Treasury, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Menurut Narantara, OJK mewajibkan Treasury menjadi anggota Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech). “Kami sudah menjadi anggota Aftech. Harapannya segera ada kabar baik dari OJK,” katanya.
Dihubungi dari Jakarta, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, platform jual beli emas termasuk e-dagang sehingga berada pada jurisdiksi Kementerian Perdagangan. Saat ini, OJK hanya mengatur jual beli dan tabungan emas oleh PT Pegadaian dalam Peraturan OJK Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pegadaian.
“Aktivitas jual beli dan tabungan emas (digital), secara legal, tidak identik dengan yang dilakukan kegiatan pegadaian,” kata dia.
Dalam peraturan tersebut, penamaan jual beli emas digital ditegaskan sebagai jual beli fisik emas digital. Penggunaan kata “fisik” tersebut mengandaikan bahwa mutlak terdapat emas fisik yang diperjualbelikan secara digital. Hal itu menghindari jual beli emas digital “bodong” yang tak memiliki emas fisik sebagai dasarnya.
Bappebti menegaskan kewajiban pedagang fisik emas digital untuk menempatkan emas pada tempat penyimpanan yang wajib berlokasi di Indonesia sebelum melakukan perdagangan emas digital. Hal itu dilakukan untuk menjamin kualitas dan ketersediaan emas.
Di dalam aturan tersebut, diatur juga persyaratan teknis emas yang dapat disimpan di penyimpanan emas demi standar mutu dan kemurnian emas.
Untuk menjaga keamanan, diatur penggunaan rekening terpisah atas nama pedagang fisik emas digital pada lembaga kliring berjangka. Aturan tersebut juga menjamin kesahihan setiap transaksi, yakni dengan pelaksanaan fungsi delivery versus payment (DvP) oleh Lembaga Kliring Berjalan.
Peraturan tersebut juga mewajibkan pedagang fisik emas digital untuk menjadi anggota bursa dan anggota kliring. Dengan kewajiban tersebut, Bappebti berusaha menjamin pembentukan harga di bursa berjangka. Diharapkan, pedagang bisa melakukan lindung nilai di bursa berjangka serta menjadi penyedia likuiditas di bursa berjangka.
Sementara itu, dalam siaran pers Kementerian Perdagangan, 18 Februari 2019, Wisnu mengatakan, pedagang fisik komoditas emas digital wajib menjadi anggota bursa dan anggota lembaga kliring berjangka. Dengan demikian, perusahaan penyedia platform jual beli emas dapat menyediakan likuiditas di bursa berjangka.
Di lain pihak, Narantara mengatakan, emas yang diperjualbelikan di laman dan aplikasi Treasury bukanlah emas berjangka. Namun, pihaknya telah bekerja sama dengan lembaga kliring untuk meminimalkan risiko dari transaksi emas.
“Apapun yang dilakukan regulator pasti buat kebaikan pengguna. Ini bukan tantangan maupun masalah buat pertumbuhan kami. Pokoknya, kami akan patuhi semua peraturan regulator,” kata Narantara.