Pemerintah Usulkan Perubahan Skema Pajak Barang Mewah
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengubah skema Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor roda empat. Prinsip pengenaan tarif akan dihitung berdasarkan konsumsi bahan bakar dan emisi karbon dioksida.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengajukan usulan perubahan skema PPnBM dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (11/3/2019). Perubahan skema PPnBM ini akan dituangkan dalam peraturan pemerintah baru yang berlaku pada 2021.
Sri Mulyani mengatakan, skema perhitungan PPnBM akan diubah dari saat ini berdasarkan kapasitas mesin menjadi konsumsi bahan bakar dan emisi karbon dioksida. Tujuannya untuk mendorong pengembangan kendaraan rendah karbon dan kendaraan listrik di dalam negeri, serta mendorong ekspor industri otomotif.
Dalam skema baru, lanjut Sri Mulyani, PPnBM dihitung berdasarkan konsumsi bahan bakar dan emisi karbon dioksida sehingga pengelompokan kendaraan akan lebih sederhana. Kendaraan dikelompokkan berdasarkan kapasitas mesin di bawah atau sama dengan 3.000 sentimeter kubik (CC) dan di atas 3.000 CC, serta tidak membedakan tipe kendaraan sedan dan non-sedan.
Kendaraan di bawah atau sama dengan 3.000 CC akan dikenakan PPnBM berkisar 0-40 persen, sementara kendaraan di atas 3.000 CC berkisar 20-70 persen. Skema PPnBM untuk setiap kelompok beda tergantung konsumsi bahan bakar dan emisi karbon dioksida. Adapun jenis kendaraan mewah di atas 5.000 CC tetap dikenakan PPnBM sebesar 125 persen.
“Prinsip pengenaaan PPnBM berubah dari semakin besar CC semakin tinggi tarif, menjadi semakin rendah emisi semakin rendah tarif,” kata Sri Mulyani.
Selain skema baru, pemerintah juga mengusulkan insentif PPnBM untuk jenis kendaraan yang termasuk dalam ketegori rendah karbon dan menggunakan listrik. Sementara PPnBM dikenakan dalam rentang 0-30 persen.
Ada lima kriteria kendaraan yang akan diberi insentif, yaitu kendaraan bermotor hemat energi dan harga terjangkau (KBH2), mengadopsi motor listrik dan baterai (hybrid electric vehicle/HEV), pengisian daya dari luar kendaraan maupun dalam kendaraan (plug-in hybrid electric vehicle/PHEV), sumber tenaga dari baterai (battery electric vehicle/BEV), sumber tenaga dari gas hidrogen (fuel cell electric vehicle/FCEV), serta mesin yang menggunakan bahan bakar nabati 100 persen.
“Skema baru PPnBM ini direncanakan berlaku tahun 2021 untuk memberikan waktu penyesuaian bagi industri,” ujar Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, skema baru PPnBM diyakini mampu meningkatkan penerimaan negara. Berdasarkan realisasi APBN 2018, penerimaan PPnBM kendaraan bermotor sebesar Rp 15,9 triliun atau sekitar 94 persen dari total penerimaan PPnBM. Sementara itu, PPnBM menyumbang 1,29 persen terhadap total penerimaan perpajakan.
Dari perhitungan Kementerian Keuangan, PPnBM akan meningkat dari Rp 19,1 triliun proyeksi tahun 2019 menjadi Rp 29,5 triliun tahun 2021. Hitungan ini mengacu proyeksi penjualan sesuai target Kementerian Perindustrian, yaitu penjualan 1,25 juta unit kendaraan tahun 2020.
Ekspor otomotif
Sri Mulyani menambahkan, skema baru PPnBM bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi mendorong ekspor otomotif dan perbaikan lingkungan hidup. Skema penghitungan berdasarkan emisi dinilai lebih menggambarkan keadilan untuk berbagai pihak. Di sisi lain, permintaan ekspor otomotif rendah emisi kini mulai tumbuh.
“Kinerja ekspor otomotif dalam negeri harus ditingkatkan agar setara dengan negara lain, seperti Thailand. Pertumbuhan ekspor ditargetkan sekitar 6,63 persen setiap tahun,” kata Sri Mulyani.
Mengutip data Badan Pusat Statisitk, kendaraan bermotor roda empat menyumbang surplus neraca perdagangan. Pada 2017, ekspor mencapai 3,5 miliar dollar AS dan impornya sebesar 2,5 miliar dollar AS.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menambahkan, kinerja industri otomotif Indonesia masih kalah dibandingkan Thailand. Ekspor Thailand mencapai 53 persen, sementara Indonesia 26 persen. Ekspor Thailand juga lebih mudah karena sudah menyepakati banyak perjanjian kerjasama perdagangan besar.
“Indonesia harus meningkatkan kerjasama perdagangan bebas untuk membuka pasar ekspor otomotif lebih luas,” kata Airlangga.
Menurut Airlangga, industri sudah menyatakan kesiapan terkait perubahan skema PPnBM ini. Mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk penyesuaian teknologi. Beberapa industri yang setuju ekspor otomotif rendah emisi, antara lain berasal dari Jepang dan Eropa. Airlangga tidak merinci detail perusahaan.
Anggota Komisi XI Hendrawan Supratikno berpendapat, orientasi pemberlakukan skema PPnBM yang baru bukan finansial, tetapi perbaikan industri. Namun, pemerintah juga harus berkoordinasi dengan industri terkait kemampuan untuk ekspor dan menguasai pasar dalam negeri. Peta jalan dan eksekusi kebijakan harus jelas agar tidak jalan ditempat.