Setengah Jam di Dalam Kepala Api
Sejak awal Februari 2019, beberapa daerah di wilayah Provinsi Riau, terutama di lokasi pantai timur Sumatera, terbakar hebat. Kabut asap melanda Kota Dumai dan wilayah Pulau Rupat, pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan negara tetangga Malaysia.
Fenomena membakar lahan memang menjadi ciri khas anak bangsa ini sejak era nenek moyang dahulu, termasuk warga Riau. Sebab, belum ada cara yang lebih mudah dan murah untuk membuka lahan pertanian selain membakar.
Sejak tahun 1997 atau 22 tahun lalu, hampir setiap tahun Riau dilanda bencana asap. Skala bencana itu naik dan turun. Untuk mengukur bencana asap, cukup mengacu pada aktivitas Bandara Sultan Syarif Kasim II, Kota Pekanbaru. Kalau bandara ditutup dari penerbangan dan pendaratan pesawat, berarti Riau tengah dilanda bencana kabut asap besar.
Setelah tahun 1997, Riau mengalami dua kebakaran hebat, yaitu pada 2014 dan 2015. Bukan berarti bencana asap tahun-tahun sebelumnya tidak besar, melainkan pada dua tahun itu, dua presiden Indonesia, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (2014) dan Joko Widodo (2015), terpaksa turun langsung ke Riau, memimpin pemadaman.
Yudhoyono yang berada di ujung masa jabatannya bahkan meminta maaf kepada pemerintah negara tetangga karena asap Indonesia menyeberang ke Malaysia dan Singapura. Adapun Jokowi yang berada di awal masa pemerintahannya tampak berupaya mencari solusi terpadu untuk mencegah berulangnya kebakaran lahan dan hutan.
Kalau bandara ditutup dari penerbangan dan pendaratan pesawat, berarti Riau tengah dilanda bencana kabut asap besar.
Sayangnya, sampai menjelang akhir jabatannya, kebakaran lahan di Riau masih terus terjadi. Tentu saja ada yang salah dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan.
Kembali kepada soal kebakaran dan bencana asap tadi, Riau memang unik. Saat daerah-daerah lain di Nusantara masih basah karena musim hujan, sejak awal Januari, Riau justru sudah berada di musim kering. Hal itu disebabkan keberadaannya yang dekat dengan garis ekuator sehingga Riau memiliki dua musim kering dan dua musim hujan.
Pada 16 Februari 2019, Kompas menurunkan berita tentang dua daerah di Riau, yaitu Kota Dumai dan Kabupaten Bengkalis, menetapkan status Siaga Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan. Tiga hari kemudian, 19 Februari, Pemerintah Provinsi Riau menetapkan status Siaga untuk seluruh wilayah kabupaten dan kota se-Riau.
Sejak pertengahan Februari, kebakaran lahan dan hutan di Rupat (Bengkalis) dan Dumai semakin membesar dan sulit dikendalikan. Pada 22 Februari 2019, wartawan Kompas, Zulkarnaini Masry, yang berdomisili di Aceh ditugaskan untuk meliput kebakaran lahan dan hutan di Riau.
Saat memulai liputan, AIN, demikian sebutan khas Zulkarnaini, sudah langsung merasakan kabut asap. Di Dumai, yang merupakan tetangga dekat dari Pulau Rupat, asap sudah membahayakan kesehatan. Kebakaran di beberapa daerah Dumai sedang berlangsung, tetapi asap kiriman dari Rupat semakin memperparah kondisi kota pelabuhan utama di Riau itu.
AIN bekerja melaporkan perkembangan kebakaran lahan dan hutan di sumber asap di Pulau Rupat. Ia beberapa kali melaporkan kondisi terkait asap, seperti masalah kesehatan warga, sekolah diliburkan, dan kegiatan pemadaman, di harian Kompas dan situs Kompas.id. Pada Selasa (26/2/2019), foto AIN yang menggambarkan kabut asap pekat di Pulau Rupat pada pagi hari menjadi foto utama di halaman depan harian Kompas.
Situasi di foto itu memang mencekam. Matahari tampak memerah seperti senja kala. Di bawahnya, beberapa sepeda motor anak sekolah dan warga bepergian menembus kabut berbahaya.
Rabu, 27 Februari, tugas AIN di Pulau Rupat berakhir dan digantikan oleh saya. Pada hari itu, udara Dumai dan Rupat tidak setebal dua hari sebelumnya. Hanya ada asap tipis. Namun, kebakaran di lapangan sebenarnya masih berlangsung hebat.
Kamis, 28 Februari, pagi, saya sudah berada di Kelurahan Terkul, Pulau Rupat. Secara kebetulan saya bertemu dengan Kepala Polres Bengkalis Ajun Komisaris Besar Yusup Rahmanto yang tengah berkoordinasi dengan Komandan Kodim Bengkalis Letnan Kolonel Timmy P Armianto dan Koordinator Tim Pemadam PT Sumatera Riang Lestari (SRL) Winarno beserta wakilnya, Ramadhan, di sebuah warung di tepi jalan poros Kecamatan Rupat. Mereka baru saja turun dari helikopter untuk memantau kebakaran di Rupat, dari udara.
Menurut rencana, Yusup dan Komandan Kodim Bengkalis akan meninjau situasi kebakaran di Jalan Teladan. Menurut Yusup, kebakaran di kawasan Teladan itu adalah yang terparah di wilayah Pulau Rupat. Tanpa meminta izin, saya berinisiatif mengekor rombongan.
Perjalanan ke lokasi kebakaran ternyata tidak mudah. Semula berupa jalan semen selebar 3 meter yang kemudian berakhir di jalan berupa tanah gambut kering. Meski kering, tanah itu sangat gembur yang ketika diinjak terasa seperti karpet tebal yang halus. Hanya sepeda motor dan mobil bergardan ganda yang dapat masuk. Di udara terlihat sebuah helikopter kecil berwarna putih dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang melayang membawa bucket berisi sekitar 1.000 liter air menuju lokasi kebakaran.
Setelah berjalan lebih dari 1 kilometer, akhirnya terlihat sebuah tenda besar tempat bermalam petugas pemadam dari TNI/Polri dan PT SRL. Sekitar 200 meter dari lokasi tenda, baru terlihat hamparan luas semak belukar sedang membara. Diperkirakan lahan yang terbakar lebih dari 200 hektar.
Di bagian tepi jalan, lokasi yang terbakar adalah kebun kelapa sawit warga yang kurang terawat. Api di pinggir jalan terlihat kecil dan terserak dengan sedikit asap. Namun, di bagian tengah dan semakin ke dalam, terjadi kebakaran hebat di lokasi semak belukar dengan pepohonan kecil setinggi 4-6 meter. Asap tebal membubung ke angkasa. Bahkan, ketika helikopter memuntahkan bom air, kendaraan berbaling-baling itu nyaris tidak terlihat.
Terdapat tiga tim pemadam yang sedang bekerja. Di bagian ujung, terdapat enam polisi yang sedang menyemprotkan air dari mesin pompa kecil jenis mini-striker. Meski kecil, pompa itu mampu mengalirkan air dari selang sampai jarak 300 meter. Lokasi yang disemprot oleh tim pertama sudah padam di bagian atas, tetapi asap masih menyembur dari dalam tanah.
Di bagian tengah, terdapat sekitar 10 petugas gabungan polisi dan PT SRL tengah menyemprotkan air ke lahan yang masih terbakar kecil. Adapun tim ketiga yang berada di bagian terdalam lokasi kebakaran berjarak sekitar 750 meter dari pinggir jalan. Tim itu sama sekali tidak kelihatan dari jalan.
Untuk mengambil foto-foto lokasi kebakaran, sebenarnya sudah cukup dari pinggir jalan. Lokasi pemotretan di situ adalah yang paling aman. Gambar yang diambil berlatar hamparan luas bekas lahan terbakar. Sesekali, kamera mengabadikan pemadaman dengan latar bayang-bayang helikopter yang sedang menumpahkan bom air di bagian terdalam.
Sesungguhnya bom air dengan volume 1.000 liter untuk membantu pemadaman kebakaran lahan yang sudah sangat luas tidak efektif lagi. Kurang berpengaruh. Namun, daripada tidak, lebih baik dibantu air dari udara.
Meski puluhan bahkan ratusan angle foto sudah diambil pada kebakaran di tepi jalan, rasanya masih ada yang kurang tanpa mengabadikan pemadaman di pusat kebakaran. Tanpa kawan, saya berjalan sendiri menyusuri selang panjang di sela-sela rerimbunan semak belukar ke lokasi kebakaran utama.
Tatkala sudah berjalan sekitar 200 meter, dari arah berlawanan terlihat rombongan Yusup Rahmanto yang baru keluar dari lokasi dalam. Setelah bertutur sapa, saya kembali melanjutkan perjalanan lagi sendirian. Namun, beberapa saat, terdengar suara dari belakang memanggil saya.
Tanpa kawan, saya berjalan sendiri menyusuri selang panjang di sela-sela rerimbunan semak belukar ke lokasi kebakaran utama.
Ternyata seorang perwira polisi bernama Dodi, yang belakangan saya ketahui menjabat Kepala Unit di Polres Bengkalis, bergegas menemani saya ke dalam hutan semak belukar. Rupanya, Yusup merasa waswas membiarkan saya berjalan sendirian di semak belukar sehingga mengutus Dodi untuk menemani.
Akhirnya sampai juga di lokasi kebakaran utama yang disebut dengan istilah ”kepala api”. Ternyata sedang tidak ada aktivitas pemadaman. Di sana terdapat 20 pemadam gabungan polisi dan PT SRL yang sedang beristirahat, duduk di semak-semak. Kegiatan pemadaman terhenti karena air yang disedot pompa induk di tepi kanal sejauh 750 meter mogok.
Beberapa petugas terlihat membuka baju dan beberapa lainnya merokok. Tidak ada seorang pun yang memakai masker. Padahal, di sekeliling asap cukup pekat. Wajah-wajah itu terlihat menghitam terkena semburan asap dan jelaga bekas benda terbakar.
Sekitar 20 meter dari kerumunan petugas yang tengah beristirahat, terlihat api yang masih menyala besar. Bunyi derik api membakar batang dan ranting kering terdengar jelas. Asap di kobaran api menguning dan sangat pekat.
Tidak lama kemudian, air dari selang mengalir kembali. Acara istirahat langsung berakhir. Enam petugas dari polisi dan PT SRL langsung mengangkat selang dan berjalan ke arah kobaran api. Air yang mengalir kencang diarahkan ke lokasi api membara sampai padam dan dilanjutkan terus sampai tanah betul-betul basah. Rasanya, setiap satu meter persegi lokasi api digempur air dengan volume sampai 500 liter.
Saya pun asyik mengambil foto aktivitas pemadaman itu. Namun, tiba-tiba angin berbalik arah. Asap langsung mengarah ke tim pemadam. Saya yang tidak jauh dari petugas pemadam ikut terjebak ke dalam kubangan asap tebal. Jarak pandang kurang dari 2 meter. Masker yang saya pakai seakan tidak berarti. Asap kekuningan langsung terisap masuk ke paru-paru.
Namun, pekerjaan pemadaman tidak berhenti. Dua petugas polisi yang semula memegang kepala selang (nozzle) terlihat menyerah dan surut ke belakang. Nozzle kemudian diambil alih Fajar (25), anggota pemadam dari PT SRL.
Masker yang saya pakai seakan tidak berarti. Asap kekuningan langsung terisap masuk ke paru-paru.
Fajar bertindak sangat berani. Dia langsung masuk ke kepala api paling besar dengan menerobos kepulan asap tebal. Langkahnya mantap dan pasti. Saya tetap berupaya mengabadikan langkah Fajar yang dikepung asap dari jarak sekitar 10 meter. Namun, Fajar hilang ditelan asap.
Tidak sampai setengah jam saya berada di lokasi itu. Dada semakin terasa sesak. Akhirnya saya menyerah dan keluar dari lokasi kebakaran. Ketika sampai di lokasi cukup terang, masker saya buka dan menghirup udara bersih sebanyak-banyaknya.
Sebenarnya, selama satu dekade terakhir, saya selalu mengikuti perjalanan para pemadam kebakaran lahan dan hutan di Riau. Lebih sering saya mengambil gambar kebakaran dari jarak 30 sampai 50 meter, atau jarak aman dari kebakaran. Dalam liputan kebakaran di Pulau Rupat tersebut, saya memang tidak berjarak lagi dari kepala api atau pusat kebakaran.
Setiap kali melihat upaya pemadaman, saya selalu salut pada dedikasi, kemampuan, kegigihan, keberanian, sekaligus ”keteledoran” para pemadam. Mereka berperang melawan api di sumbernya, tetapi sering kali mengabaikan keselamatan diri sendiri. Sangat jarang saya melihat pemadam yang sedang bekerja memakai masker meskipun mereka menembus asap tebal yang sangat membahayakan kesehatan selama berhari-hari.
Saya senantiasa menganggap pemadam manusia luar biasa. Sebab, saya tahu bakal tidak mampu mengambil alih pekerjaan mereka meski hanya untuk satu hari. Pekerjaan mereka jauh lebih berat dan berbahaya daripada pemadam kebakaran rumah dan gedung di kota-kota. Di kota, pekerjaan pemadaman paling lama satu atau dua hari. Namun, kebakaran lahan dan hutan dapat berlangsung berminggu-minggu.
Bahaya di depan mata tidak hanya karena berperang melawan api dan asap, tetapi juga ancaman terjebak di lubang gambut menganga yang membara. Terjerumus ke lubang api gambut sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian sesaat.
Keluar dari wilayah kebakaran di kepala api, saya menyambangi posko kesehatan di sebuah lapangan desa. Di sana, puluhan warga desa sedang memeriksakan kesehatan kepada dokter muda, Yessica Febriani. Lebih dari setengah warga terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut, kata Yessica.
Di samping pos kesehatan, saya bertemu Jannes Situmorang (34), petugas pemadam dari PT SRL yang baru menyelesaikan shift pemadaman selama dua pekan di Terkul. Tim Jannes digantikan oleh Fajar dan kawan-kawan yang saya abadikan di foto.
Menurut Jannes, beberapa hari sebelumnya, ia juga menembus asap tebal di kobaran api seperti yang dilakukan Fajar, juga tanpa masker. Saat memadamkan api, Jannes merasa mual dan muntah-muntah. Seluruh isi perutnya keluar. Jannes paham bahwa tubuhnya kekurangan oksigen. Ia kemudian merebahkan tubuhnya rata dengan tanah dan menghisap udara lebih segar.
Baca juga:
Galaxy S10 dan Titik Balik Wartawan Era Digital
Setiap pemadam di lahan gambut sudah diberi pengetahuan bahwa di permukaan tanah, asap pasti lebih tipis dan oksigen masih tersedia. Jannes beristirahat sejenak di tanah dan kemudian dibawa teman-temannya ke posko kesehatan. Keesokan harinya, Jannes kembali berjibaku memadamkan api di pusat kebakaran.
Untungnya, pada Jumat dini hari, hujan deras selama empat jam mengguyur Pulau Rupat. Kebakaran hebat selama sebulan padam total. Tidak ada lagi api di lokasi itu.
Pada Jumat siang, saya kembali ke lokasi bekas kebakaran di Terkul dan bertemu dengan Fajar di kemah yang sedang dibongkar. Mereka tengah bersiap-siap berpindah tempat memadamkan api di Kepulauan Meranti.
Para pemadam itu bekerja mengorbankan kesehatannya untuk membebaskan jutaan warga dari bencana asap.
Fajar mengatakan sehat-sehat saja setelah bergelut dengan asap tebal di kobaran api itu. Saya menyalami Fajar dan mengucapkan terima kasih serta mengatakan salut dengan pekerjaannya.
Petugas pemadam seperti Fajar, ataupun dari Manggala Agni, polisi, TNI, serta masyarakat adalah orang-orang yang telah berjuang memadamkan api akibat kebakaran lahan dan hutan yang dilakukan orang tidak bertanggung jawab untuk membuka lahan kebun kelapa sawit. Pemadam itu bekerja mengorbankan kesehatannya untuk membebaskan jutaan warga dari bencana asap.