Dilarang Membakar Lahan, Keluarga Transmigran Tinggalkan Desa
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS – Sejak diterapkannya larangan membakar lahan, puluhan keluarga di daerah transmigrasi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pulang ke kampung asal atau keluar dari desa mencari pekerjaan lain. Lahan tak digarap karena takut ditangkap aparat kepolisian.
Larangan membakar lahan diberlakukan pemerintah sejak bencana asap pada tahun 2015 akibat kebakaran hutan dan lahan. Saat itu, sedikitnya 122.882 hektar lahan dan hutan di Kalimantan Tengah terbakar, sebagian besar adalah lahan gambut.
Larangan membuka lahan dengan cara membakar tersebut menyisakan masalah yang hingga hari ini belum ada solusinya. Petani-petani kecil di pedesaan tidak lagi mau mengerjakan kebun atau sawahnya karena takut ditangkap.
“Adik saya keluar dari desa supaya bisa cari kerja yang lain, tanahnya di sini dilepaskan begitu saja tidak digarap,” ungkap Rodiyah (60), warga Desa Sebangau Mulya, Kecamatan Sebangau Kuala, Jumat (8/3/2019).
Rodiyah bertahan dengan menggarap sayur-sayuran yang menurutnya tidak membutuhkan lahan besar. Hasil sayuran itu bisa dijual ke tetangga atau langsung ke pasar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Tak hanya keluarga Rodiyah, pada tahun 2016, sekitar 20 keluarga di desa tersebut pulang ke kampung di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena tak lagi bisa menggarap lahannya tanpa membakar.
Kepala Desa Sebangau Mulya Hariwung mengungkapkan, mereka yang keluar dari desa ingin mencari pekerjaan lain. Sebagian besar pulang ke kampung dan mencari pekerjaan lain, sedangkan sebagian lagi mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan sawit atau tambang.
“Banyak (warga) yang pergi, maka dari itu kami berupaya mencari solusi untuk membuka lahan tanpa bakar,” ungkap Hariwung, saat dihubungi dari Palangkaraya, Minggu (10/3).
Hariwung menjelaskan, sejak tahun 1984, wilayahnya menjadi daerah transmigrasi. Ratusan penduduk asal Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat datang dan tinggal di tempat itu.
Transmigran diberikan 2,5 hektar lahan untuk tempat tinggal serta membuat lahan pertanian dan perkebunan. Sebelum meninggalkan kampung, sebagian besar transmigran menjual lahannya atau membiarkannya digarap anggota keluarga yang masih bertahan di desa tersebut.
Kondisi serupa juga terjadi di Desa Paduran Mulya. Sebelum tahun 2015 terdapat 180 keluarga di desa itu. Namun, jumlah itu kini berkurang menjadi 150 keluarga. Sekitar 30 keluarga keluar dari desa untuk mencari penghidupan lain.
Kepala Desa Paduran Mulya Yaya mengungkapkan, pada masa awal kedatangan para transmigran, jumlah keluarga yang tinggal di desa itu mencapai 550 keluarga. Jumlah terus berkurang karena banyak yang memilih pulang kampung.
“Mereka yang pulang dulu itu karena tidak bisa menggarap tanah gambut, terlalu asam dan banyak rawa. Sedangkan yang pulang belakangan ini karena larangan membakar lahan,” ungkap Yaya.
Yaya mengaku, banyak pula pemuda yang memilih bekerja di luar desa karena tidak lagi bisa membakar lahan. Mereka khawatir tidak bisa lagi menanam padi sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
Hal serupa juga terjadi di desa transmigran lainnya seperti Desa Sidodadi dan Desa Gandang Barat di Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau.
Keresahan ini diantisipasi pemerintah melalui program Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bekerja sama dengan organisasi Kemitraan. Keduanya memberikan pendampingan dan bantuan untuk mengalihkan mata pencaharian petani dan meninggalkan kebiasaan membakar lahan.
Dari data BRG, pada tahun 2017 terdapat 23 paket revitalisasi yang sudah dilaksanakan di Kalimantan Tengah. Pada tahun 2018, terdapat 69 paket revitalisasi yang juga sudah dilaksanakan. Beberapa paket revitalisasi itu antara lain peternakan sapi, lebah madu, dan pembuatan pupuk.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Safitri, saat pertemuan dengan media beberapa waktu lalu, mengatakan, program revitalisasi berguna untuk menstimulasi masyarakat agar tidak membakar lahan tapi tetap memiliki penghasilan.