Ancaman Kejahatan Siber, Indonesia di Peringkat Ke-9
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masuk peringkat ke-9 dari 157 negara yang terdeteksi mendapat ancaman kejahatan siber terbanyak pada 2018. Ranking Indonesia ini naik dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu urutan ke-14 dari 157 negara.
Hal tersebut terangkum dalam laporan Symantec Internet Security Threat Report Volume 24 yang terbit pada Februari 2019. Laporan dirilis berdasarkan hasil riset Symantec terhadap 123 juta kasus serangan dan 142 juta ancaman kejahatan siber setiap hari di 157 negara.
Adapun serangan atau ancaman kejahatan siber yang diteliti oleh Symantec hanya fokus pada perangkat lunak perusak (malware), spam, phising, hosts, bots, serangan jaringan, serangan laman, aplikasi penyandera data (ransomware), dan cryptominers.
Di atas peringkat Indonesia terdapat Jerman, Jepang, Rusia, Vietnam, Brasil, India, China, dan Amerika Serikat.
Dalam lingkup kawasan Asia Pasifik, Indonesia masuk peringkat ke-5 sebagai negara yang terdeteksi memperoleh ancaman kejahatan siber terbanyak pada 2018. Tahun sebelumnya, Indonesia menempati peringkat ke-6.
Director of System Engineering Symantec ASEAN Halim Santoso, Kamis (7/3/2019) sore, di Jakarta, mengatakan, kenaikan ranking Indonesia ada kaitannya dengan semakin banyaknya jumlah pengguna internet aktif. Ditambah lagi, mereka yang aktif tersebut juga semakin terbiasa bertransaksi apa pun melalui platform toko daring. Pelaku industri juga kian marak mengadopsi perangkat digital untuk meningkatkan produksi.
Di Indonesia, ancaman kejahatan siber berupa malware paling banyak menyasar sektor industri keuangan, asuransi, dan properti, diikuti manufaktur, konstruksi, serta jasa.
Terkait pencurian identitas atau phising, sektor industri yang terkena ancaman terbesar adalah manufaktur, lalu konstruksi, jasa, serta keuangan, asuransi, dan properti.
Tren global tahun 2018 menunjukkan, satu dari 10 kelompok penyerang menggunakan malware untuk menghancurkan atau sekadar mengganggu operasional bisnis.
Adapun mengenai spam, sektor industri yang mengalami ancaman terbanyak adalah jasa, kemudian manufaktur, keuangan, asuransi, dan properti, serta konstruksi.
Laporan Symantec menyebutkan, tren secara global pada tahun 2018 menunjukkan, satu dari sepuluh kelompok penyerang menggunakan malware untuk menghancurkan atau sekadar mengganggu operasional bisnis. Symantec telah menerka akan terjadi tren seperti itu sejak 2017.
Mengutip data Cyber Crime Kepolisian Negara RI pada 2018, Halim menyebutkan, mayoritas korban dari 4.000 laporan ancaman atau serangan kejahatan siber di Indonesia berasal dari perusahaan.
Menurut dia, beberapa alasan mendorong penjahat siber lebih memilih perusahaan dibandingkan konsumen individual sebagai target. Alasan pertama, ada kecenderungan perusahaan malas membuat sistem cadangan, untuk dokumen strategis sekalipun. Alasan kedua, pemilik perusahaan lebih mudah memutuskan membayar nilai berapa pun yang diminta penjahat, terutama untuk kasus malware.
E-dagang
Laporan Symantec Internet Security Threat Report Volume 24 turut membahas serangan laman berwujud formjacking. Serangan ini menyerupai tindakan pencurian informasi kartu kredit atau debit dengan cara menyalin informasi yang terdapat pada pita magnetik kartu secara ilegal atau biasa disebut skimming. Bedanya, aktivitas formjacking terjadi secara virtual alias saat konsumen bertransaksi daring menggunakan metode pembayaran elektronik berupa kartu kredit.
”Kasus formjacking mulai marak pada 2018. Temuan kami, lebih dari 4.800 laman yang melayani transaksi belanja daring terinfeksi formjacking setiap bulan secara global. Puncak serangan terjadi bulan November dan Desember karena bersamaan dengan promo e-dagang,” kata Halim.
Meski Symantec tidak merilis data khusus kasus formjacking di Indonesia, dia yakin kasus itu turut menimpa konsumen Tanah Air. Untuk mencegah kejatuhan korban, Halim berpendapat perlunya konsumen Indonesia diedukasi soal potensi-potensi kejahatan siber.
Sebelumnya, Managing Director Ipsos Indonesia Soeprapto Tan mengatakan, konsumen layanan e-dagang di Indonesia tetap menyukai metode pembayaran nonelektronik meskipun mereka telah terbiasa belanja daring.
Saat menyurvei 1.000 pengguna internet pada 27 Desember 2018-11 Januari 2019, Ipsos menemukan, 26 persen responden mengatakan suka metode transfer antarbank. Sekitar 15 persen dari total responden lebih suka membayar melalui gerai minimarket. Adapun sekitar 19 persen menyukai pembayaran secara elektronik, seperti internet banking, kartu kredit daring, dan kartu debit daring.
”Dengan kata lain, konsumen e-dagang di Indonesia masih konservatif,” ujarnya.