Pemerintah Dinilai Salah Tafsir soal Reforma Agraria
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi masyarakat sipil menilai pemerintah salah tafsir terkait pelaksanaan reforma agraria. Upaya pemerintah membagikan sertifikat tanah ke masyarakat belum menyentuh tujuan utama reforma agraria sehingga perlu dievaluasi agar tujuan kebijakan itu bisa tercapai.
Tenaga Ahli Utama Bidang Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan, Selasa (5/3/2019) di Jakarta, menyangkal penilaian tersebut. Namun, ia juga mengatakan, masyarakat berhak menilai kemajuan program reforma agraria. Kritik dan masukan organisasi masyarakat sipil diperlukan pemerintah.
Sebelumnya, Manajer Kampanye dan Advokasi Kebijakan FWI Mufti Barri mengatakan, reforma agraria bertujuan menyelesaikan persoalan ketimpangan penguasaan hutan dan lahan. Dalam menyelesaikannya, pemerintah perlu membongkar, kemudian menata kembali sistem penguasaan tanah dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.
“Ada salah tafsir dalam mengartikan ‘reforma agraria’ yang saat ini digulirkan pemerintah. Yang dilakukan saat ini bukan membongkar dan menata kembali, tetapi melanjutkan apa yang telah ada,” kata Mufti, Senin (4/3) di Jakarta.
Data yang dihimpun FWI hingga 2019 menyebutkan, luas penguasaan hutan dan lahan oleh korporasi melalui konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), tambang, dan perkebunan kelapa sawit mencapai 70,17 juta hektar. Sementara itu, penguasaan oleh masyarakat melalui skema hutan adat, reforma agraria, dan perhutanan sosial hanya 2,005 juta hektare.
Baca juga: Enam Bulan Berjalan, Reforma Agraria Lambat
Mufti melanjutkan, untuk membongkar masalah ketimpangan itu, pemerintah mesti membuka informasi agraria terkait penguasaan lahan, seperti hak guna usaha (HGU). Tanpa transparansi, kebijakan itu akan sulit tercapai.
“Jika ingin mereformasi, pemerintah harus berani membongkar siapa-siapa saja yang menguasai lahan di Indonesia,” ujarnya.
Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan, praktik bagi-bagi sertifikat tanah yang dilakukan pemerintah berpotensi memicu konflik. AMAN menemukan, tanah yang disertifikasi dan sertifikatnya dibagi-bagikan itu merupakan hak masyarakat adat sehingga hak mereka telah dirampas.
“Setahun lalu di Riau ada wilayah adat orang Talang Mamak yang dibagikan. Namun, yang dapat orang lain, sedangkan mereka sendiri tidak mendapatkannya. Ini akan memicu konflik pada masa mendatang,” kata Arman.
Masyarakat adat
Arman pun menegaskan, Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria tidak mengakomodasi masyarakat adat. Perpres itu justru dianggap ‘mengkhianati’ mandat pembentukannya yang berdasarkan pada Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Salah satu mandat yang diatur dalam Ketetapan MPR itu adalah penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat.
“Perpres Nomor 86 justru melanggengkan politik pengabaian hak masyarakat adat. Padahal, masyarakat adat telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, bahkan diatur dengan tegas dalam konstitusi Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945. Subyek penerima TORA (Tanah Obyek Reformasi Agraria) tidak menyebutkan masyarakat adat,” ujarnya.
Menurut Arman, di dalam Perpres Nomor 86 memang disebutkan sekelompok orang atau badan hukum. Namun, badan hukum yang dimaksudkan adalah PT, yayasan, koperasi, BUMDES. Masyarakat adat tidak disebut secara spesifik sebagai subyek hukum penerima TORA.
Dengan ketiadaan payung hukum UU Masyarakat Adat, ditambah sektoralisme pengaturan masyarakat dalam perundang-undangan saat ini, Perpres Nomor 86 justru menjadi alat legal perampasan wilayah adat.
“Dalam konteks masyarakat adat, pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyakatat adat melalui UU Masyarakat Adat merupakan prasyarat utama pelaksanaan reforma agraria. Dari sanalah hulunya. Setelah itu, baru kita bicarakan soal redistribusi tanah dan lain-lain,” ujarnya.
Sengketa lahan
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Senin siang, melaporkan pemerintah ke Ombudsman Republik Indonesia. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, tidak adanya upaya progresif pemerintah setelah Perpres Nomor 86 terbit. Kondisi itu terlihat dalam penanganan sengketa dan konflik agraria.
Baca juga: Masyarakat Sipil Tuntut Keterbukaan Penguasaan Lahan
Dalam catatan akhir tahun 2018, KPA mendata telah terjadi 410 konflik agraria. Konflik tersebut mencakup luas wilayah 807.177 hektar dan melibatkan 87.568 keluarga. Konflik agraria terbesar terkait lahan terjadi di sektor perkebunan dengan jumlah 144 kasus atau 35 persen. Konflik lainnya juga hadir di sektor properti, infrastruktur, pertanian, kehutanan, pesisir, juga pertambangan.
Konflik di lahan perkebunan juga menjadi isu kronis selama satu dekade pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan empat tahun pemerintahan Joko Widodo. Periode 2015-2018, KPA mencatat sebanyak 642 dari 1.771 konflik terjadi di sektor tersebut. Letusan konflik itu melibatkan HGU yang dipegang oleh perusahaan negara dan swasta.
KPA juga melihat pemerintah masih lamban dalam proses redistribusi atau pembagian ulang sembilan juta hektar tanah kepada petani dan rakyat kecil.
“Yang luput adalah soal janji redistribusi tanah. Kuat diduga, ada salah sasaran dan ketidaksesuaian tujuan reforma agraria antara kesesuaian obyek atau tanah dengan penerima redistribusi ranah. Program ini berhenti pada bagi-bagi sertifikat saja,” tambah Dewi.
Semula, kata Dewi, distribusi ulang tanah seluas 400.000 ha dijanjikan bahwa itu akan diperoleh dari HGU konsesi yang sudah habis atau ditelantarkan. Kemudian 4,1 juta hektare lagi dari pelepasan kawasan hutan.
Brdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada Oktober 2018, pemerintah baru merealisasikan distribusi ulang tanah seluas 270.237 ha. Tak hanya itu, menurut KPA, redistribusi yang sesuai tujuan dan prinsip reforma agraria hanya di 785 ha.
Mewujudkan keadilan
Di tempat terpisah, Usep menjelaskan, tujuan reforma agraria adalah mewujudkan keadilan pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam. Pemerintah mempunyai arah kebijakan ekonomi berkeadilan berbasis pemerataan. Reforma agraria dilakukan melalui redistribusi tanah dan legalisasi aset serta pemberdayaan ekonomi masyarakat.
"Sertifikasi massal yang dilakukan secara gratis adalah bagian dari kegiatan reforma agraria. Maksud kegiatan ini untuk memberi kepastian hukum dan mencegah konfik agraria. Capaian dari kegiatan ini luar biasa tinggi," kata Usep.
Usep melanjutkan, pemerintah sedang berusaha untuk meningkatkan capaian redistribusi tanah. Identifikasi tanah objek reformasi agraria (TORA) yang berasal dari pelepasan kawasan hutan dan tanah negara tengah digencarkan.
Pemerintah juga tengah mengevaluasi izin usaha perkebunan sawit melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Izin dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Semangat dari inpres tersebut membatasi perluasan areal usaha, mengevaluasi izin lama, dan memperbaiki tata kelola kebun sawit.
"Semua perlu proses, waktu, dan komitmen semua pihak. Pemerintah selalu terbuka untuk kritik dan kerja sama dengan kalangan organisasi masyarakat sipil," ujarnya.
Terkait penilaian bawah Perpres 86/2018 tidak mengakomodasi masyarakat adat dan dianggap "mengkhianati" mandat pembentukannya, Usep menjelaskan, masyarakat tidak disebut secara eksplisit sebagai subyek reforma agraria. Namun, substansi dan semangatnya diakomodasi dalam ketentuan mengenai kategori subyek, yakni orang per orang, kelompok orang, dan badan usaha.
"Masyarakat adat sebagai kelompok orang bisa menjadi subyek reforma agraria. Bahkan perpres ini juga mengatur skema kepemilikan bersama yang dapat diberikan selain kepemilikan pribadi. Jadi, kami mengajak AMAN dan komunitas masyarakat adat untuk menggunakan perpres ini sebagai instrumen legal untuk mendapatkan pengakuan tanah adat sebagai bagian integral dari wilayah adat," katanya. (YOLA SASTRA/ERIKA KURNIA)