Salah satu hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 yang menyedot perhatian, di samping tema yang terkait dengan isu kebangsaan, ialah putusan mengenai sampah plastik yang pengelolaannya wajib hukumnya. Keprihatinan NU terhadap tumpukan sampah plastik yang mencapai 130.000 ton per hari memicu pembahasan mendalam dalam rapat komisi ulama (bahtsul masail).
Namun, lebih dari itu, pengelolaan sampah di lingkungan pesantren mengusung misi pemberdayaan warga sekitar sehingga mereka bisa melakukan mitigasi bencana ekologis dan dengan sendirinya meningkatkan ketahanan pesantren dari ancaman bencana dan kerusakan lingkungan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) melakukan pembinaan-pembinaan kepada warga pesantren, termasuk dengan pembentukan bank sampah.
”Kami menyadari, persoalan ekologis dan kebijakan pemerintah dalam bidang lingkungan hidup itu sangat diperlukan sebagai bagian dari upaya mempertahankan eksistensi negara bangsa,” ungkap Muhammad Ali Yusuf, Kepala LPBI NU, Rabu (27/2/2019), di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat.
Sampah yang menumpuk dan posisi Indonesia sebagai salah satu daerah yang rawan bencana ekologis harus disikapi oleh NU. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, 95 persen bencana di Indonesia merupakan bencana ekologis, seperti banjir, longsor, puting beliung, kebakaran hutan, dan kenaikan air muka laut.
”Sejak tahun 2010, NU menaruh perhatian pada isu lingkungan karena bencana besar bisa menimbulkan kerugian bagi negara kita. Jangan sampai kita fokus pada penyelamatan korban, tetapi tidak melakukan upaya mitigasi dan pencegahan. Risiko kerusakan lingkungan jauh melebihi kecepatan kita dalam mencegah kerusakan lingkungan,” katanya.
Bank sampah
Kekhawatiran Ali terkait ancaman bencana terhadap eksistensi negara bangsa itu beralasan. Fenomena perubahan iklim, misalnya, secara jelas telah mengancam eksistensi kota dan permukiman di dekat kutub utara. BBC dalam salah satu laporannya tahun 2018 menyebutkan, Qaanaaq di Greenland, kota yang terletak ujung utara bumi, terancam tenggelam karena es yang meleleh akibat perubahan iklim. Tanahnya yang solid menjadi rapuh dan tidak bisa ditempati. Sedikitnya 650 penduduk di kota kecil itu harus mengungsi.
Indonesia pun pernah disebut sebagai negara dengan peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi berdasarkan kajian Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencara (UNISDR) tahun 2011. Sayangnya, kondisi Indonesia itu memburuk dengan menjadi produsen sampah plastik tertinggi dunia setelah China.
”Perubahan iklim dan bencana adalah persoalan kebangsaan dan bagian dari upaya kami di NU menjaga ukhuwah wathoniyah (persaudaraan dalam kebangsaan) itu tetap lestari. NU harus tampil memberikan alternatif solusi untuk masalah negara dan bangsa ini,” ujarnya.
Di bawah binaan LPBI NU, sebanyak 150 cabang bank sampah telah dibentuk. Sebagian besar bank sampah itu ada di lingkungan pesantren.
”Pesantren menjadi fokus karena santrinya juga banyak dan sampahnya tentu juga besar. Anak-anak dididik untuk mengolah sampah mereka sendiri, dimulai dari memilah sampah organik dan anorganik. Kami ingin terus meningkatkan cabang bank sampah ini,” kata Direktur Bank Sampah LPBI NU Fitri Aryani.
Bersamaan dengan upaya pengelolaan lingkungan, bank sampah yang diinisiasi LPBI NU itu juga ingin mengungkit kesejahteraan warga pesantren. Sebab, pengelolaan bank sampah itu juga dilakukan bekerja sama dengan sebuah bank milik negara. Sampah yang mereka kumpulkan akan ditukar dengan uang yang dimasukkan ke dalam rekening bank mereka.
Pendidikan kepada santri menjadi keutamaan. Seperti dalam perhelatan munas pekan lalu, 30 santri dikerahkan menjadi tim pembersih area munas. Mereka memungut sampah dari arena munas. Sampah plastik dan nonplastik dipisahkan supaya mudah diolah. Mengenakan rompi hitam bertuliskan LPBI NU, para santri bekerja selama munas berlangsung.
Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam penutupan munas memberikan perhatian pada isu sampah plastik yang diusung NU kali ini. Kemalasan atau ketidakdisiplinan, antara lain, memicu orang lebih senang menggunakan plastik daripada bahan jenis lain yang mudah diurai atau bisa dipergunakan berkali-kali.
”Dulu ibu-ibu kita kalau pergi ke pasar membawa keranjang. Sekarang pergi ke pasar, ibu-ibu tinggal membeli, dikasih plastik. Di rumah, plastik itu dibuang sehingga menjadi kotoran sampah plastik yang berbahaya untuk seluruh keturunan kita,” kata Wapres.
Perhatian munas alim ulama terhadap sampah plastik tidak lepas dari fondasi dasar NU yang selalu memperhatikan persoalan-persoalan menyangkut hajat hidup orang banyak dan kelestarian negara-bangsa. Menjaga negara-bangsa, oleh karena itu, tidak melulu melalui politik, apalagi mati-matian memperebutkan kekuasaan. Kontestasi politik ialah sebagian kecil saja dari kepentingan bangsa ini....