Masyarakat Masih Senang Kabar Bohong yang Sensasional
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana Diskusi Kompas "Berita Hoaks dan Pemilu Indonesia: Dampak UU ITE bagi Kebebasan Berekspresi" di kantor Kompas Biro Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (4/3/2019). Hadir menjadi pembicara antara lain Direktur Asia Centre James Gomez PhD, Direktur Tamborae Institute Wisnu T Hanggoro, dan Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Semarang, Aris Mulyawan.
SEMARANG, KOMPAS - Penyebaran kabar bohong dan berita palsu masih marak akibat ketidakjelasan regulasi dan ketiadaan penyaringan kualitas dalam penggunaan media sosial. Ironisnya, justru berita palsu sensasional lebih membuat orang tertarik membaca.
Direktur Asia Centre, Dr James Gomez, mengatakan, dari 260 juta penduduk Indonesia, 56 persen di antaranya menggunakan internet. Meski persentase negara ASEAN lain lebih tinggi, pengguna internet Indonesia tetap terbanyak di kawasan ini.
Hal itu, mau tak mau membuat penggunaan media sosial di Indonesia untuk beragam tujuan, termasuk produksi hoaks atau kabar bohong. Ini juga dapat digunakan oleh siapapun yang saling berlawanan dalam pandangan politik.
"Kini semua orang bisa terlibat, sebab tidak ada regulasi dan tak ada kontrol kualitas," kata Gomez pada Diskusi Kompas "Berita Hoaks dan Pemilu Indonesia: Dampak UU ITE bagi Kebebasan Berekspresi" di kantor Kompas Biro Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (4/3/2019).
Direktur Asia Centre James Gomez (kanan) dan pendiri Tamborae Institute Wisnu T Hanggoro pada Diskusi Kompas "Berita Hoaks dan Pemilu Indonesia: Dampak UU ITE bagi Kebebasan Berekspresi" di kantor Kompas Biro Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (4/3/2019).
Selain Gomez, hadir dalam acara tersebut, antara lain Direktur Tamborae Institute Wisnu T Hanggoro dan Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Semarang, Aris Mulyawan. Adapun selaku moderator yakni Kepala Biro Jateng Harian Kompas, Gregorius Magnus Finesso.
Gomez memaparkan, seiring dinamika penggunaan media sosial, media mainstream dianggap tak lagi menarik. "Cek fakta (bagi kebanyakan orang) membosankan. Itulah kenapa semua seperti berlomba, karena nyatanya pengguna internet menyukai sensasi," kata dia.
Cek fakta (bagi kebanyakan orang) membosankan. Itulah kenapa semua seperti berlomba, karena nyatanya pengguna internet menyukai sensasi
Kebiasaan tersebut, menurut dia, tumbuh subur di negara dengan tingkat literasi media rendah hingga menengah, termasuk Indonesia. Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa di beberapa negara, misalnya Thailand, penyebaran kabar palsu yang dianggap bisa merusak harmoni bisa dijadikan dalih pemerintah untuk mengekang kebebasan berpendapat.
Sementara itu, menurut Wisnu, Indonesia sebenarnya memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Namun, kenyataannya, sudah ada UU ITE pun berbagai kabar bohong masih bertebaran di media sosial.
Kepala Biro Jawa Tengah Harian Kompas, Gregorius Magnus Finesso (kanan) menyerahkan kenang-kenangan kepada Direktur Asia Centre James Gomez, yang menjadi pembicara dalam Diskusi Kompas "Berita Hoaks dan Pemilu Indonesia: Dampak UU ITE bagi Kebebasan Berekspresi" di kantor Kompas Biro Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (4/3/2019).
Menurut Wisnu, hal tersebut menjadi tantangan berat bagi media konvensional termasuk masyarakat. "Dengan demikian, perlu upaya kuat dan bersama dari seluruh pihak, termasuk media mainstream dan masyarakat, untuk memerangi penyebaran kabar bohong itu," katanya.
Kendati demikian, di sisi lain, UU ITE juga diharapkan tidak membatasi kebebasan berekspresi. Apalagi, mengancam kebebasan pers, yang sudah dijalankan dengan segala hal sesuai kaidah-kaidah jurnalistik. Dikhawatirkan, peraturan itu digunakan untuk menghalangi kerja jurnalistik.
Aris mengungkapkan, sudah banyak kasus yang menjerat wartawan dengan UU ITE. Bahkan, sebagian berita yang dipermasalahkan, sebenarnya sudah dilakukan dengan peliputan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik.