JAKARTA, KOMPAS — Peluncuran LinkAja sebagai penggabungan berbagai aplikasi teknologi finansial uang elektronik berbasis server dinilai dapat menciptakan persaingan yang tidak seimbang. Pemerintah disarankan membuat regulasi uang elektronik terlebih dahulu sebelum masuk sebagai salah satu penyedia jasa.
LinkAja merupakan sinergi beberapa uang elektronik produk badan usaha milik negara (BUMN), yaitu E-Cash (Bank Mandiri), UnikQu (BNI), T-Bank (BRI), dan T-Cash, dan T-money (Telkom Group). Aplikasi ini dibuat PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) dengan kepemilikan saham 25 persen oleh Telkomsel, masing-masing 20 persen oleh Bank mandiri, BRI, dan BNI, BTN dan Pertamina masing-masing 7 persen, serta 1 persen oleh Asuransi Jiwasraya.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kurnia Toha, yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (2/3/2019), mengatakan, pembentukan LinkAja oleh berbagai BUMN akan membuatnya sangat dominan dalam industri teknologi finansial (tekfin) uang elektronik. Sebab, semua pengguna aplikasi uang elektronik akan dialihkan menggunakan LinkAja mulai 3 Maret.
”Pangsa pasar yang besar itu tidak masalah karena sesuai dengan prinsip persaingan. Tetapi, pemain besar memiliki kecenderungan untuk melanggar. Bank-bank BUMN bisa menetapkan tarif isi ulang saldo buat aplikasi yang lain, tetapi tidak untuk LinkAja. Nanti harus kita lihat lagi bagaimana perkembangannya, apakah tarif itu dapat mendorong ke arah monopoli,” kata Kurnia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, juga mengkhawatirkan hal yang sama. Saat ini ada lebih kurang 45 aplikasi uang elektronik berbasis server dan diperkirakan terus berkembang.
”Beberapa yang paling besar adalah Go-Pay, OVO, dan DANA. Yang menjadi masalah, pemerintah melalui BUMN ikut masuk melalui LinkAja. Padahal, kekuatan pasar berbagai BUMN itu sangat besar sehingga bisa mendistorsi pasar,” kata Nailul.
Jumlah nasabah T-Cash saja kini 3 juta nasabah. Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo mengatakan, penggabungan dalam LinkAja dapat menambah jumlah nasabah.
Konsumen atau pelanggan dari perusahaan BUMN lain, seperti Pertamina, Kereta Api Indonesia, dan Garuda Indonesia, dapat mengakses LinkAja (Kompas, 26/2/2019).
Sementara itu, pengguna Go-Pay saat ini mencapai 75 persen dari total 173,8 juta pengguna uang elektronik berbasis server. Go-Jek sebagai aplikasi yang memuat Go-Pay telah diunduh lebih dari 125 juta kali per Desember 2018.
Total transaksi Go-Pay 6,3 miliar dollar AS selama 2018, sebagian besar untuk transportasi ojek dan taksi dalam jaringan (daring). Adapun OVO telah memproses 1 miliar transaksi selama 2018, mayoritas juga untuk transportasi daring.
Karena bank-bank BUMN juga memiliki saham LinkAja, Nailul memprediksi, pengisian saldo melalui mobile banking pasti tidak dikenai biaya. Di sisi lain, uang elektronik dari perusahaan swasta dari Go-Pay dan OVO masih mengandalkan m-banking bank BUMN untuk isi ulang saldo.
Disinsentif
Pengisian saldo Go-Pay melalui m-banking Bank Mandiri, misalnya, dikenai biaya Rp 1.000. Sebaliknya, isi ulang OVO tidak dikenai biaya karena ada kerja sama dengan Bank Mandiri.
”Top-up uang elektronik lain bisa saja dikenai biaya Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Akibatnya, orang-orang akan berpindah ke LinkAja karena tidak ada biaya top-up. Merger bank-bank BUMN ini memberikan jangkauan pasar yang sangat luas. Hadirnya pemerintah dalam bisnis ini bisa menjadi disinsentif untuk masuknya pemain baru sehingga menghambat perkembangan industri,” kata Nailul.
Menurut dia, pemerintah perlu lebih fokus untuk menciptakan peraturan dalam pengelolaan persaingan uang elektronik dari segi persaingan. Selama swasta masih dapat menyediakan jasa uang elektronik, tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk masuk ke industri tersebut.
Pemerintah dapat mengawasi penggunaan uang elektronik melalui Bank Indonesia (BI). Ketentuan uang elektronik dan kewenangan BI diatur dalam Peraturan BI Nomor 20/6/PBI/2018.
Di lain pihak, Kurnia Toha menilai, tidak ada yang salah dengan masuknya pemerintah dalam industri uang elektronik. Tidak perlu juga dibuat aturan baru untuk mengawasi persaingan aplikasi uang elektronik. Sebab, industri mana pun dapat diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tahun ini, kata Kurnia, KPPU akan berfokus pada industri keuangan. ”Kita akan awasi, jangan sampai tarif ini berdampak diskriminatif terhadap pemain lain,” ujar Kurnia.
Data BI, terjadi 2,92 miliar transaksi uang elektronik dengan nilai Rp 47,198 triliun selama 2018. Jumlah tersebut melonjak dari 943,32 juta transaksi senilai Rp 12,375 triliun pada 2017. Pada Januari 2019 telah tercatat 274,7 juta transaksi uang elektronik senilai Rp 5,82 triliun (Kompas, 26/2/2019).
Dorong nontunai
Direktur PT Finarya Danu Wicaksana mengatakan, kehadiran LinkAja dimaksudkan untuk meningkatkan layanan keuangan serta mendorong program inklusi keuangan ke seluruh Indonesia. ”Hadirnya LinkAja merupakan bagian dari Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) yang diusung pemerintah. Selain itu, LinkAja bertujuan untuk melengkapi ekosistem pembayaran digital di Indonesia,” ujar Danu.
Go-Pay pun telah menjangkau produsen hingga ke pemilik kios dan lapak di 20 pasar modern di Jabodetabek. Konsumen mendapatkan keuntungan cashback 30 persen dari total transaksi Go-Pay.
Head of Corporate Communications Go-Pay Winny Triswandhani mengatakan, promosi cashback adalah upaya mengembangkan kebiasaan masyarakat untuk bertransaksi nontunai. Saat ini, pengguna paling kuat dari Go-Pay adalah generasi milenial, yaitu usia 18-38 tahun.
”Generasi milenial membantu generasi yang lebih senior mengenai perkembangan teknologi. Sekarang, anak kelas VI SD sampai senior usia 70 tahun, semuanya pakai Go-Pay untuk semua kebutuhan, mulai dari donasi di Kitabisa.com sampai beli (makanan melalui) Go-Food,” kata Winny. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)