Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, masalah sampah plastik berawal dari kemalasan. Orang-orang ingin lebih praktis dalam beraktivitas sehingga bergantung pada plastik sekali pakai. Padahal, plastik merupakan sampah yang sulit terurai.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri/Rini Kustiasih
·2 menit baca
BANJAR, KOMPAS — Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, masalah sampah plastik berawal dari kemalasan. Orang-orang ingin lebih praktis dalam beraktivitas sehingga bergantung pada plastik sekali pakai. Padahal, plastik merupakan sampah yang sulit terurai.
”Sampah plastik itu bisa tahan sampai 100 tahun di tanah dan tidak hancur. Ini berbeda dengan sisa makanan atau buah-buahan yang hanya butuh waktu beberapa hari untuk menyatu dengan tanah,” ujar Jusuf Kalla saat menghadiri penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3/2019).
Pernyataan Wapres tersebut menanggapi salah satu topik pembahasan dalam Munas dan Konbes NU, yakni sampah plastik. Menurut Wapres, puluhan tahun lalu, sampah plastik bukanlah masalah serius. Namun, saat ini, sampah yang sukar terurai itu memengaruhi kesuburan tanah dan menjadi problem nasional bahkan dunia.
Sampah plastik, lanjutnya, merupakan dampak dari perkembangan teknologi. Dikutip dari Kompas.id edisi 2 Desember 2018, sampah plastik berawal sejak pakar pencipta asal Inggris membuat polimer sintesis, salah satu materi plastik, pertama pada 1856. Pada 1909, Leo Hendrik Baekeland membuat bakelite yang nantinya berwujud plastik yang dikenal seperti saat ini.
Awalnya, plastik memudahkan aktivitas manusia. ”Namun, orang-orang mulai malas mencuci piring atau membawa keranjang ke pasar saat belanja. Plastik sekali pakai yang diandalkan. Habis minum kopi, gelas plastiknya dibuang. Semuanya menjadi sampah. Ini sumbernya kemalasan,” ujarnya.
Wapres meminta peran masyarakat dalam mengelola dan mengurangi sampah plastik. Sebab, dengan penduduk lebih dari 260 juta jiwa, sampah yang dihasilkan masyarakat juga melimpah. ”Jadi, kita harus kembali kepada kebiasaan awal. Pergi ke pasar pakai keranjang, misalnya,” ungkapnya.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, Indonesia menjadi juara kedua negara dengan sampah terbanyak setelah China. ”Penyebabnya, industri dan rendahnya pemahaman masyarakat. Penanganan sampah plastik harus memasukkan elemen budaya,” ujarnya.
Sebelumnya para ulama dalam Forum Bahtsul Masail Komisi Waqiiyah menyepakati, hukum membuang sampah, termasuk sampah plastik, adalah haram jika berdampak buruk pada jangka panjang, bencana alam, dan kesehatan. Ini pertama kalinya para ulama membahas sampah plastik dalam bahtsul masail. Para ulama juga mendorong pemerintah agar menetapkan sanksi bagi produsen yang tidak mampu mengelola sampahnya dengan baik.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, pada 2017, terdapat 65,8 juta ton sampah di darat dan lautan Indonesia. Sekitar 15 persen dari jumlah itu adalah sampah plastik. KLHK saat ini tengah merancang peraturan menteri terkait peta jalan pengurangan sampah plastik oleh produsen dan pengurangan plastik sekali pakai.
Para ulama juga mendorong pemerintah agar menetapkan sanksi bagi produsen yang tidak mampu mengelola sampahnya dengan baik.