JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan PT Merial Esa sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan anggaran Badan Keamanan Laut atau Bakamla untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun 2016. Korporasi itu menjadi korporasi kelima yang diproses KPK karena diduga terlibat korupsi.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (1/3/2019).
"PT ME (Merial Esa) diduga secara bersama-sama, atau membantu memberikan, atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait proses pembahasan dan Pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun anggaran 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla," kata Alexander.
PT ME disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP.
Penetapan status tersangka pada perusahaan ini berawal dari penyidikan kasus setelah operasi tangkap tangan oleh KPK pada 14 Desember 2016.
Saat itu, KPK mengamankan uang Rp 2 miliar dan menetapkan empat orang tersangka, yaitu Deputi Informasi, Hukum, dan Kerjasama Bakamla Eko Susilo H, Direktur PT ME Fahmi Darmawansyah, serta dua orang dari pihak swasta Hardy Stefanus dan M Adam Okta.
Dalam proses penanganan perkara, KPK menemukan adanya dugaan suap terkait pengaturan anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lalu menetapkan Fayakhun Andriadi, mantan anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Golkar, sebagai tersangka.
Tak hanya itu, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Novel Hasan dan Manajer Director PT Rohde & Schwarz Indonesia Erwin Sya\'af Arief, juga ikut ditetapkan tersangka.
PT ME terlibat sebagai korporasi yang akan mengerjakan proyek satelit monitoring. Direktur PT ME Fahmi Darmawansyah memberikan uang pada Fayakhun Andriadi sebesar 911.480 dollar Amerika Serikat atau setara sekitar Rp 12 miliar. Uang itu dikirim secara bertahap sebanyak empat kali melalui rekening Fayakhun di Singapura dan Guangzhou, China.
Perusahaan kelima
PT ME merupakan korporasi kelima yang diproses hukum oleh KPK karena diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Empat korporasi sebelumnya, PT Nusa Konstruksi Enjinering (NKE) yang sebelumnya bernama PT Duta Graha Indah, PT Tuah Sejati, PT Nindya Karya, dan PT Tradha.
Korporasi pertama yang diproses oleh KPK, yaitu PT NKE, telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dan dijatuhkan pidana denda dan penghapusan hak untuk mengikuti lelang proyek pemerintah.
Alex menjelaskan, KPK mengejar korporasi yang terbukti terlibat dalam kasus korupsi penyelenggara negara sebagai upaya mengembalikan kerugian negara.
"Dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintahan yang libatkan korporasi, uang pasti mengalir ke rekening korporasi. Kalau korporasi tidak dijadikan tersangka, otomatis keuntungan yang diterima dengan cara tidak baik ini, tidak bisa kita rampas," katanya.
Oleh karena itu, KPK akan mengejar korporasi lain yang direksinya kini tengah menjalani proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi.
Diantaranya, PT Wijaya Kusuma Emindo (WKE) milik Budi Suharto dan Lily Sundarsih serta PT Tashida Sejahtera Perkara (TSP) milik Irene Irma dan Yuliana Enganita Dibyo.
Keempat orang itu sedang menjalani penyidikan terkait kasus suap dalam proyek pengadaan sistem penyediaan air minum (SPAM) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). PT WKE dan PT TSP diduga memenangi tender untuk sekitar 50 proyek SPAM dengan cara suap. (ERIKA KURNIA)