JAKARTA, KOMPAS - Penolakan wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia kembali bergulir. Kali ini penolakan datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menilai wacana tersebut langkah mundur agenda reformasi TNI.
Wacana revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI, khususnya Pasal 47 yang memperbolehkan sejumlah perwira tinggi TNI mengisi jabatan di sejumlah kementerian dan lembaga sipil. Langkah ini menyusul karena terdapat ratusan perwira menengah dan tinggi TNI tidak memiliki jabatan.
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam dalam diskusi "Quo Vadis Reformasi Kembalinya Militer dalam Urusan Sipil" di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (1/3/2019), mengatakan, pihaknya menolak wacana revisi UU tersebut.
"Dengan polemik saat ini di mana anggota TNI aktif akan ditaruh di beberapa institusi sipil menurut saya tidak bisa. Selain persoalan hukum, (sikap) ini merupakan komitmen kami dalam menjaga supremasi sipil dan mendorong profesionalitas TNI," kata Anam.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil yang beranggotakan 39 lembaga pemerintahan/swasta dan 39 tokoh masyarakat juga menolak rencana penempatan perwira TNI aktif di kementerian/lembaga dan peningkatan status komando teritorial. Selain bertentangan dengan sejumlah aturan, hal itu dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi TNI yang mengganggu jalannya demokrasi Indonesia (Kompas, 15/2/2019).
Sementara Komnas HAM sebagai pemilik mandat sesuai UU No 39/1999 tentang HAM, berfungsi memastikan kondisi yang kondusif dalam upaya perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM, merasa perlu membahas secara komprehensif persoalan terkait wacana hidupnya kembali dwifungsi TNI.
Menurut Anam, sejatinya TNI memiliki tugas dan amanah mulia dari rakyat untuk mempertahankan, melindungi, serta memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Untuk itu, Komnas HAM mendorong TNI agar senantiasa menjaga komitmen tersebut dan menjadi institusi yang profesional.
Langkah mundur
Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, wacana penempatan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil di kementerian dan lembaga merupakan langkah mundur. Wacana itu juga sekaligus pengkhianatan terhadap agenda reformasi mendorong penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang berkembang selama Orde Baru.
"Menumpuknya perwira dalam jumlah besar di Mabes TNI harus dibaca sebagai kegagalan perencanaan, reorganisasi, dan manajerial TNI pasca-orde Baru. Tidak patut dan tidak pada tempatnya jika kegagalan tersebut dibebankan kepada kementerian atau lembaga untuk menampung mereka," kata Syamsuddin yang turut hadir dalam diskusi tersebut.
Syamsuddin menilai, Mabes TNI membutuhkan solusi bijak lain sehingga tidak mengorbankan pencapaian reformasi di sektor keamanan, meskipun masih setengah hati, tetapi berjalan cukup baik. Ia pun mendorong Presiden Joko Widodo agar menolak wacana pengembalian TNI ke ranah sipil.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo menilai, persoalan penempatan perwira aktif TNI di ranah sipil tidak menyelesaikan akar persoalan. Sebab, selama ini TNI dilatih untuk berperang. Sementara penempatan jabatan di ranah sipil tidak sesuai dengan kompetensi perwira TNI.
"Ketika mencari solusi untuk sebuah persoalan di dalam subsistem yang terbatas, jangan sampai merusak dan tidak melihat pertimbangan yang lebih besar. Sebab, ada kepentingan-kepentingan lain yang perlu dijaga demi kepentingan nasional," kata Agus.
Direktur Imparsial Al Araf menyatakan, perbaikan tata kelola internal organisasi TNI dapat dilakukan dengan beragam cara, antara lain membatasi peserta Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI, pensiun dini, menjalankan program zero growth, mengurangi struktur yang tidak efektif lagi, dan mengkaji ulang sistem perekrutan sesuai dengan jumlah personel serta jabatan yang dibutuhkan.
Sementara Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi saat berkunjung ke redaksi Harian Kompas, Selasa (12/2/2019), mengatakan, penempatan perwira TNI di lembaga negara sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi. Selain itu, saat ini sudah tidak ada lagi doktrin peranan sosial dan politik di dalam TNI.
"Ini soal teknis saja, manajemen sumber daya manusia. Tidak sama dengan dwifungsi ABRI yang menduduki jabatan politik seperti bupati," katanya. (DIONISIO DAMARA)