Perkembangan Karakter Siswa Harus Jadi Indikator Akreditasi
Tujuan pendidikan adalah membentuk karakter positif dan mengembangkan wawasan siswa. Namun selama ini, praktik pendidikan terpaku pada standar.
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Pengawasan dan pembinaan guru di sekolah dan madrasah mengenai standar akreditasi hendaknya mulai memasukkan proses perkembangan dan perubahan karakter siswa ke arah lebih baik. Selama ini, akreditasi lebih fokus kepada pemenuhan sarana dan prasarana serta prosedur pembelajaran. Padahal, tujuan pendidikan adalah membentuk karakter positif dan mengembangkan wawasan siswa.
"Indeks indikator pembelajaran sebenarnya adalah kenyamanan lingkungan belajar, praktik pedagogik, perkembangan karakter, dan kerja sama guru, siswa, dan orangtua," kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal saat memberi materi lokakarya pengawas sekolah untuk GSM di Tangerang Selatan, Selasa (26/2/2019).
Kegiatan ini merupakan lanjutan dari pelatihan guru dan sekolah mengenai sekolah yang menyenangkan bagi siswa dan melibatkan 60 pengawas SD, SMP, dan madrasah dari kota Tangerang dan Tangerang Selatan.
Ia mengatakan, praktik pendidikan sangat terpaku pada standar. Negara memang harus memiliki standar sebagai acuan capaian kinerja. Akan tetapi, pandangan yang berlaku adalah menggunakan standar sebagai tujuan pembelajaran. Padahal, sejatinya standar merupakan alat pengukur dan pemetaan yang hasilnya harus dipakai sebagai salah satu landasan pembenahan sistem pendidikan.
Praktik pendidikan sangat terpaku pada standar. Dan, pandangan yang berlaku adalah menggunakan standar sebagai tujuan pembelajaran.
Ujian Nasional, seleksi masuk perguruan tinggi, maupun ujian tengah semester maupun ulangan harian diperlakukan sebagai tujuan pembelajaran. Akibatnya, siswa sibuk menghafal dan berlatih soal. Mereka tidak punya kesempatan untuk banyak membaca, berefleksi, bertanya, mengembangkan kreativitas, dan bersosialisasi. Metode belajar ini tidak menambah wawasan dan kompetensi siswa.
"Satu-satunya cara membuat siswa senang belajar ialah jika sekolah memberi kesenangan dan keamanan, tidak cuma dari sarana fisik, tetapi atmosfer yang memungkinkan siswa bisa tumbuh kembang sesuai jati dirinya dan dihargai," kata Rizal.
Dalam diskusi, para pengawas mengutarakan berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Misalnya, permasalahan penilaian standar yang dianggap kaku dan mengedepankan aspek akademik saja. Kemudian juga ada persoalan literasi yang sukar berkembang karena guru-guru belum banyak yang melek teknologi dan etika penggunaannya. Mereka mempertanyakan cara mengukur perkembangan karakter siswa untuk diterjemahkan ke dalam berkas penilaian sekolah.
Dosen psikologi Universitas Gadjah Mada Novi Chandra yang turut mendirikan GSM mengatakan, langkah yang harus ditempuh pertama-tama adalah mengubah persepsi guru dan tenaga pendidikan terhadap pendidikan. "Prestasi yang holistik tidak didapat dari pemaksaan, tetapi menumbuhkan kesenangan siswa pada belajar sehingga mereka mampu belajar setiap saat, terlepas lokasi keberadaan mereka. Apabila persepsi guru dan sumber daya pendidikan terpaku pada pemaknaan standar yang hanya di permukaan, tidak akan bisa menciptakan siswa pembelajar," ujarnya.
Apabila persepsi guru dan sumber daya pendidikan terpaku pada pemaknaan standar yang hanya di permukaan, tidak akan bisa menciptakan siswa pembelajar.
Dalam menciptakan suasana sekolah yang mendukung pembangunan karakter pembelajar, butuh persepsi dari siswa, guru, dan orangtua. Novi memaparkan, selama ini standar pendidikan baru berdasarkan pemikiran guru dan orangtua. Umumnya mereka mengemukakan keinginan agar sekolah memiliki inovasi dalam pendidikan, transparansi anggaran, dan pelaksanaan kurikulum yang baik.
Sebaliknya, ketika ditanyakan kepada siswa, jawaban mereka sekolah yang baik adalah tempat mereka bisa bermain dan mengemukakan pendapat. "Sudahkah setiap sekolah merefleksikan nilai ini? Dulu Ki Hajar Dewantara mengemukakan pendidikan harus bisa mengolah raga, rasa, dan pemikiran. Masyarakat butuh memastikan bahwa sekolah memasukkan semua unsur tumbuh kembang ke dalam praktik pembelajarannya.
Adaptif
Pengawas SMP Tangerang Selatan Saprudin mengatakan, materi yang dibahas dalam lokakarya tersebut bisa diadaptasi ke dalam indikator penilaian akreditasi sekolah. "Sebenarnya, pada kriteria proses pembelajaran indikatornya bisa diturunkan menjadi perkembangan sikap, perilaku, dan cara berpikir siswa. Di dalamnya termasuk elemen kekritisan berpikir, kepedulian terhadap sesama, dan aling menghargai," katanya.
Sementara itu, untuk aspek sarana dan prasarana juga dapat memasukkan unsur penilaian siswa terhadap sekolah. Misalnya, siswa menganggap sekolah sudah memberi keamanan dan jaminan tidak ada perundungan, tidak ada kekerasan, dan memiliki fasilitas yang membuat siswa termotivasi untuk menambah wawasan.
Saprudin menuturkan, dirinya terinspirasi untuk melakukan pendampingan kepada guru mengenai memberi siswa kebebasan berekspresi dan berkreasi. Hal ini merupakan tantangan utama karena pengawas dan guru sudah terbiasa mengira sumber pengetahuan hanya dari buku teks.
Saprudin terinspirasi untuk melakukan pendampingan kepada guru mengenai memberi siswa kebebasan berekspresi dan berkreasi.
"Saya jadi berefleksi bahwa sebelum meminta guru melakukan gerakan literasi di sekolah, mereka harus dibangun dulu kepercayaan dirinya untuk mau terbuka kepada wawasan baru dan bahwa jika ada siswa yang kritis itu bukan berarti bisa diajak untuk bersama mencari sumber-sumber informasi baru," ucapnya.
Selain itu, para pengawas juga menyepakati bahwa tidak ada aturan yang mengatur mengenai format ulangan harian dan ulangan tengah semester. Ini memberi guru kebebasan membentuk soal berupa proyek multidisipliner yang mengasah kemampuan siswa untuk berkolaborasi, membaca lebih banyak literatur, dan berpikir kreatif. Cara ini memungkinkan pembelajaran dan evaluasi berbasis sistem berpikir tingkat tinggi bisa diterapkan dalam basis sehari-hari.