Pajak agar Berlaku Juga bagi Medsos
JAKARTA, KOMPAS
Pemerintah diharapkan menyertakan perusahaan media sosial dalam sosialisasi aturan perpajakan bagi transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Sebab, aturan pajak itu mestinya diberlakukan setara bagi pedagang di semua jenis platform, termasuk media sosial.
Aturan perpajakan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Harapan itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung di Jakarta, Selasa (26/2/2019). Menurut dia, idEA rutin bertemu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi dari asosiasi.
”Secara kebetulan, pemerintah sedang membahas peraturan pelaksana Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018. Kami menyampaikan usul agar pedagang di media sosial dengan omzet Rp 300 juta per tahun diikutsertakan dalam perlakuan perpajakan PMK itu. DJP bisa lebih dulu berkoordinasi dengan pemilik media sosial," ujar Ignatius.
PMK itu mengatur tata cara pemungutan pajak untuk mempermudah administrasi dan mendorong kepatuhan pelaku e-dagang demi menciptakan keadilan dengan pelaku usaha konvensional. Oleh karena itu, tak ada jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-dagang.
Pedagang dan penyedia jasa yang berjualan di platform e-dagang wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet. PPh final dikenakan kepada pedagang dan penyedia jasa yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Sementara, bagi yang memiliki omzet lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun, diwajibkan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.
Penyedia platform e-dagang tidak memungut PPh dan PPN dari pelapak. Mereka hanya diminta mewajibkan semua pelapak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan melaporkan rekapitulasi transaksi. Penyedia platform e-dagang itu antara lain Tokopedia, Bukalapak, Blibli.com, Lazada, Elevania, Shopee, dan Zalora.
Tidak didesain
Ignatius menambahkan, sejak awal platform media sosial tidak didesain sebagai ruang jual-beli barang secara dalam jaringan. Pemilik platform tidak mungkin dituntut menyetor data daftar pemilik akun yang berdagang.
Menurut dia, pedagang di media sosial dapat mengklaim nilai omzet per tahun karena sistemnya memungkinkan demikian. Oleh karenanya, idEA menyarankan pedagang dengan omzet Rp 300 juta per tahun wajib mengikuti PMK Nomor 210 Tahun 2018.
"Karakteristik pedagang berjualan di media sosial kan menklaim sendiri nilai omzet. Apabila pemerintah tidak mematok batasan nilai omzet, ada kemungkinan mereka memilih tidak mau mengaku. Kami khawatir hal itu akan berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pedagang di platform laman pemasaran," katanya.
Ignatius menuturkan, industri e-dagang di Indonesia sedang memasuki fase gelombang ketiga yang ditandai ekspansi layanan besar-besaran, kompetisi menawarkan produk hulu-hilir, dan tarif. Beberapa penyedia platform pasar daring berlomba-lomba menjadi aplikasi super atau berbagai layanan dalam satu platform.
Kami khawatir hal itu akan berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pedagang di platform laman pemasaran.
Konsep aplikasi super ini biasanya menawarkan produk di luar bisnis awal. Misalnya, penyedia pasar daring turut menawarkan layanan finansial berupa pembayaran tagihan.
"Pertumbuhan industri e-dagang Indonesia diprediksi bisa puluhan persen hingga akhir 2019. Pasar Indonesia besar," tambah Ignatius.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo yang dihubungi terpisah berpendapat, isu utama industri e-dagang adalah menciptakan kesetaraan kebijakan, termasuk perpajakan yang efektif. Perlakuan perpajakan yang adil bukan hanya bagi pemilik platform lokal dan global, namun juga untuk pedagang dalam platform dan luar platform.
"Setelah kebijakan lahir, pemerintah perlu menindaklanjuti dengan teknis pemungutan pajak yang efektif. Misalnya, pemerintah bisa mengoptimalkan keberadaan gerbang pembayaran nasional," kata dia.
Yustinus menambahkan, perlakuan perpajakan harus menyasar pemilik platform media sosial, termasuk pedagang di dalamnya. Pada dasarnya, mereka semua tergolong terutang pajak. Akan tetapi, mereka belum menjadi subyek pajak dalam negeri.
"Saya setuju upaya mendorong kewajiban perlakuan perpajakan yang setara antara media sosial dan laman pemasaran. Sebagai contoh, menjadikan platform media sosial sebagai subyek pemungut," tuturnya.
Hasil penelitian CITA menyebutkan, potensi pajak penghasilan final bisa mencapai Rp 342 miliar dengan asumsi nilai transaksi pada tiga penyedia platform e-dagang Rp 68,4 triliun pada 2017. (MED)