JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung mencatatkan rekor penanganan perkara pada 2018 dengan memutus perkara terbanyak dalam satu tahun mencapai 17.638 perkara. Jumlah perkara yang tersisa juga tercatat paling sedikit yakni 906 perkara.
Sepanjang 2018, Mahkamah Agung (MA) menerima 17.156 perkara, ditambah sisa perkara tahun lalu menjadi 18.544 perkara. Dari total beban perkara tahun 2018, MA berhasil menyelesaikan 96,11 persen atau 17.638 perkara, dengan menyisakan 906 perkara.
Perkara tersebut terdiri permohonan kasasi dan peninjauan kembali, permohonan peninjauan kembali perkara pajak, permohonan grasi pada perkara pidana umum, pidana khusus, dan pidana militer. Lalu, permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, permohonan uji pendapat dan sengketa administrasi pemilihan pada perkara tata usaha negara.
"Ketika saya terima estafet kepemimpinan, masih ada sisa belasan ribu perkara, sekarang bisa di bawah seribu perkara. Ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah MA," ujar Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali usai membuka acara Laporan Tahunan MA 2018 di Jakarta, Rabu (27/2/2019) yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Pada 2014, misalnya, jumlah perkara yang diputus MA mencapai 14.501 perkara dengan menyisakan 4.425 perkara. Pada 2017, perkara yang diputus naik hingga 16.474 perkara dan menyisakan 1.388 perkara. Menurut Hatta, kunci dari keberhasilan pencapaian tersebut adalah kerja keras para hakim dan seluruh aparatur pada badan peradilan.
Hatta juga mengatakan, MA masih kekurangan hakim. Saat ini, jumlah hakim seluruh Indonesia hanya 7.702 orang. Adapun jumlah pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia sekitar 400 pengadilan, dengan tambahan 85 pengadilan baru di daerah pemekaran.
Kunci keberhasilan MA adalah kerja keras para hakim dan seluruh aparatur pada badan peradilan.
"Sekarang tenaga hakim memang kurang. Jangankan hakim untuk pengadilan baru, untuk yang ada saja saya banyak menerbitkan surat izin bersidang dengan hakim tunggal. Saat ini, banyak pengadilan yang hakimnya tinggal tiga, yaitu ketua dengan dua hakim anggota. Kalau tidak dikeluarkan izinnya, tertunda sidangnya," tuturnya.
Penambahan hakim masih terkendala beberapa hal. Salah satunya rekrutmen calon hakim diadakan tahun 2017. Sekitar 1.600 calon hakim, yang direkrut dengan sistem perekrutan calon pegawai negeri sipil (PNS) itu, kini masih menjalani pendidikan dan baru akan siap bekerja dua hingga tiga tahun lagi.
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril, yang dihubungi terpisah, mengatakan, masalah kurangnya hakim perlu dicarikan solusi jangka panjang. Solusinya adalah dengan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim.
"Salah satu caranya harus segera diselesaikan RUU Jabatan Hakim. Dalam RUU ini, proses rekrutmen hakim sebagai pejabat negara bisa dijamin. Selama ini, hakim mengandalkan aturan PNS, yang itu tidak layak lagi bagi hakim. Rekrutmen tidak bisa dilakukan dan terkatung-katung. RUU Ini bisa jadi payung hukum bagi hakim," ujar Oce.
RUU yang saat ini masih dibahas di DPR meliputi berbagai aspek, mulai dari aspek pengangkatan, pembinaan, pengawasan, perlindungan, hingga pemberhentian hakim. Pembuatan RUU pertama kali dibahas bersama pemerintah pada Desember 2016. Penyelesaian pembahasan oleh panitia kerja (Panja) RUU Jabatan Hakim disepakati akan diselesaikan setelah Pemilu 2019. (Kompas, 13/2/2019).