Indonesia Resmi Mencalonkan Diri sebagai Anggota Dewan HAM
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
GENEVA, RABU — Indonesia mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB periode 2020-2022. Bagi Indonesia, pencalonan ini merupakan mandat konstitusi untuk berkontribusi menciptakan tatanan dunia berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pencalonan Indonesia disampaikan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam pidatonya pada sidang sesi ke-40 sidang Dewan HAM PBB di Markas PBB di Geneva, Swiss, Selasa (26/2/2019) malam. Dalam pidatonya, Retno menyatakan, situasi HAM di dunia berada pada kondisi yang penuh tantangan.
Ketidakstabilan politik dan konflik telah meningkatkan bermacam pelanggaran HAM mengarah pada penderitaan, kemiskinan yang parah, masalah sosial, dan migrasi yang masif. Kemunduran di banyak negara demokrasi maju, untuk kepentingan politik jangka pendek, telah merusak inklusivitas, toleransi, dan rasa hormat, yang merupakan nilai fundamental hak asasi manusia.
Terhadap situasi itu, ujar Retno, semua negara, tanpa kecuali, harus bangkit menghadapi tantangan, berkontribusi untuk membuat kondisi HAM global yang lebih baik. Bagi Indonesia, pencalonan sebagai anggota Dewan HAM PBB adalah mandat konstitusi untuk berkontribusi dalam menciptakan tatanan dunia berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
”Dalam hal ini, saya merasa terhormat untuk menyatakan kepada Anda, pencalonan Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022,” kata Retno. ”Indonesia akan terus menghadirkan aktivisme, sinergi, dan energi baru untuk upaya hak asasi manusia global.”
Retno menegaskan, sebagai salah satu anggota pendiri Dewan HAM PBB, Indonesia akan melanjutkan kontribusi aktifnya sejalan dengan Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 60/251.
Indonesia pernah empat kali menjadi anggota Dewan HAM PBB, yaitu tahun 2006-2007, 2007-2010, 2012-2014, dan 2015-2017. Dewan HAM memiliki 47 anggota yang dipilih oleh Majelis Umum PBB dan bersidang sedikitnya tiga kali dalam setahun.
Terdapat lima kandidat dari kelompok Asia Pasifik, yaitu Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Kepulauan Marshall, dan Iran, yang akan memperebutkan empat kursi. Pemilihan akan digelar November mendatang.
Bagi Indonesia, pencalonan sebagai anggota Dewan HAM PBB adalah mandat konstitusi untuk berkontribusi menciptakan tatanan dunia berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selama di Geneva, Retno menjalani serangkaian pertemuan bilateral guna meraih dukungan. Pertemuan bilateral itu dilakukan, antara lain, dengan deputi Perdana Menteri Guinea Ekuatorial dan Macedonia Utara serta menteri luar negeri dari Australia, Georgia, Ceko, Eslandia, Azerbaijan, dan Maladewa.
Tiga poin utama
Dalam pidatonya, Retno juga menyoroti tiga hal bagaimana mempromosikan dan melindungi HAM. Pertama, Dewan HAM harus menegaskan kembali dirinya sebagai platform utama dan tepercaya untuk mengatasi masalah hak asasi manusia dengan tidak memihak, obyektif, dan tidak terpolitisasi.
”Politisasi, standar ganda, dan selektivitas menghambat upaya untuk mengatasi masalah hak asasi manusia secara efektif. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperkuat mekanisme dewan untuk memungkinkan, mengatasi tantangan hak asasi manusia dengan cara menyatukan, efisien, dan efektif,” tutur Retno.
Kedua, kerja sama regional dan mekanisme tentang hak asasi manusia harus diperkuat agar efisien dan efektif. Retno mencontohkan negara-negara di Asia Tenggara yang berada di garis depan dalam melindungi hak asasi manusia. Pada kasus kekerasan di Rakhine, Myanmar, misalnya, sejak awal Indonesia mengambil tindakan konkret untuk membantu mengatasi situasi kemanusiaan. Indonesia secara aktif melibatkan Myanmar dan anggota ASEAN lainnya, membantu menemukan solusi jangka panjang yang bermartabat dan langgeng.
ASEAN juga tidak luput dari upaya dalam membantu persiapan pemulangan sukarela pengungsi Rakhine. Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan dalam Penanggulangan Bencana (AHA Centre) disiapkan untuk membantu pemulangan pengungsi yang aman dan bermartabat, serta membangun kepercayaan dan lingkungan yang kondusif di Rakhine.
Dalam konteks yang lebih luas, Indonesia terus memperkuat keterlibatan regional, untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, termasuk melalui Bali Democracy Forum (BDF). Pembentukan Chapter Tunisia dan Berlin dalam BDF menunjukkan bahwa berbagi nilai-nilai dan pengalaman hak asasi manusia tidak berjalan satu arah. Negara berkembang juga dapat berbagi pengalaman mereka dengan negara maju.
Ketiga, keterlibatan konstruktif dan efektif antara pemerintah, lembaga HAM nasional (NHRI), dan masyarakat sipil harus diperkuat. NHRI dan masyarakat sipil memainkan peran penting dalam pengarusutamaan nilai dan standar hak asasi manusia dalam menghasilkan gagasan dan opsi kebijakan, termasuk implementasi dan pengawasan.
”Kita harus meningkatkan investasi dalam keterlibatan inklusif sipil untuk partisipasi yang lebih bermakna dan lebih luas dalam kerja HAM PBB,” kata Retno. (*)