Fungsi Pers Sebagai Penyampai Edukasi ke Publik Kurang Dipahami
Fungsi pers tidak sekadar menyampaikan berita, tetapi berita yang mengedukasi ke publik. Namun pemahaman ini masih rendah, termasuk di kalangan wartawan.
JAKARTA, KOMPAS — Fungsi pers adalah sebagai penyampai edukasi ke publik. Namun dalam praktiknya, masih banyak pemberitaan yang beritikad buruk dan sadis. Bukan saja berlawanan dengan fungsi pers tersebut, pemberitaan yang demikian juga melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 1 dan 4 Kode Etik Jurnalistik mengatur agar wartawan Indonesia tidak beritikad buruk serta tidak membuat berita sadis. Namun demikian, pada praktiknya masih banyak media arus utama yang justru membuat pemberitaan bunuh diri secara rinci.
Kasus terbaru terjadi di Lampung, Jumat (22/2/2019), ketika seorang remaja laki-laki tewas setelah melompat dari atas sebuah gedung di Lampung. Sekitar tiga jam lebih pasca tragedi tersebut, sebuah media daring langsung mengunggah video peristiwa itu dengan judul “Detik-detik Remaja Bunuh Diri dari Atap Gedung”.
Video tersebut memuat sekuens kejadian bunuh diri dari saat remaja itu berdiri di atas bibir gedung, jatuh, hingga tergeletak di halaman sampai dikerumuni banyak orang. Meski di bagian akhir, video itu diblur, namun kengerian aksi itu tetap terasa kuat.
Pada hari yang sama, media daring lainnya melalui kanal di youtube juga mengunggah video peristiwa yang sama dengan judul “Detik-detik Seorang Pria Lakukan Aksi Bunuh Diri, Korban Berstatus sebagai Mahasiswa”. Selama dua hari berturut-turut, hingga Minggu (24/2/2019), media daring yang jaringannya tersebar di banyak kota ini mengupas habis-habisan korban bunuh diri ini, mulai dari kronologi kejadian hingga hal-hal lain seputar kehidupan korban. Alih-alih meredam tragedi agar tidak memunculkan kengerian bagi publik, media massa justru mengamplifikasi informasi-informasi yang beredar liar melalui jejaring media sosial.
Alih-alih meredam tragedi agar tidak memunculkan kengerian bagi publik, media massa justru mengamplifikasi informasi-informasi yang beredar liar melalui jejaring media sosial.
Kecenderungan media massa menguraikan secara rinci cara-cara bunuh diri bahkan sampai dengan mengungkap hal-hal pribadi korban masih sangat jamak terjadi di Indonesia. Pengemasan pemberitaan jurnalistik seperti ini selain melanggar Kode Etik Jurnalistik terkait larangan pemberitaan yang beritikad buruk dan sadis juga berlawanan dengan fungsi pers sebagai penyampai edukasi ke publik.
Hal yang paling mengerikan lagi, penyebaran konten tentang kejadian bunuh diri bisa memicu orang yang tengah mengalami depresi atau memiliki masalah serupa untuk turut melakukan bunuh diri, yang dikenal dengan efek Werther. Karena itu tidak heran jika beberapa kasus bunuh diri kadang diikuti dengan kejadian serupa dengan metode dan cara-cara yang mirip.
Selain mendorong munculnya bunuh diri tiruan, pemberitaan secara masif di media massa maupun media sosial juga berpotensi memunculkan trauma dan stigma buruk dari masyarakat kepada keluarga korban. Begitu media bertubi-tubi mengunggah pemberitaan, maka respon netizen di media sosial semakin tak terbendung dengan segala macam komentar yang liar.
Begitu media bertubi-tubi mengunggah pemberitaan, maka respon netizen di media sosial semakin tak terbendung dengan segala macam komentar yang liar.
Pengetahuan rendah
Menyikapi maraknya pemberitaan media terkait kasus-kasus bunuh diri, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Komunitas Into The Light dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar survei tentang pengetahuan jurnalis terkait pemberitaan-pemberitaan seputar bunuh diri.
“Berdasarkan survei yang diikuti 132 jurnalis dari 83 media di Indonesia menunjukkan pengetahuan jurnalis terhadap isu bunuh diri masih rendah,” kata anggota Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta, Widia Primastika, Minggu (24/2/2019), di Jakarta.
Penelitian tersebut menyasar tiga kelompok jurnalis, meliputi jurnalis muda (masa kerja 1-5 tahun) sebanyak 53 persen, jurnalis madya (masa kerja 6-10 tahun) sebanyak 45 persen, dan jurnalis utama (masa kerja lebih dari 10 tahun) sebanyak 32 persen. Survei digelar pada Januari hingga Februari 2019.
Hasil survei tersebut cukup menganggetkan. Mayoritas jurnalis muda setuju, kematian akibat bunuh diri lebih layak diberitakan daripada menginformasikan tentang pemikiran dan perencanaan bunuh diri seseorang. Sementara itu, sebagian besar jurnalis madya menganggap kejadian bunuh diri dari tokoh publik adalah hal yang luar biasa.
Mayoritas jurnalis muda setuju, kematian akibat bunuh diri lebih layak diberitakan daripada menginformasikan tentang pemikiran dan perencanaan bunuh diri seseorang.
Pengurus Komunitas Into The Light Venny Asyita mengatakan, melihat begitu mengerikannya dampak dan efek dari pemberitaan masif seputar bunuh diri, maka sangat penting dan mendesak agar media menyusun pedoman pemberitaan bunuh diri. Hal ini penting untuk meminimalisasi dampak pemberitaan dari kejadian-kejadian bunuh diri.
Mendidik publik
Pertanyaan yang perlu digulirkan sebagai bentuk introspeksi terkait pemberitaan kejadian-kejadian bunuh diri adalah apakah pemberitaan yang diturunkan secara masif itu benar-benar dibuat untuk memenuhi hak-hak masyarakat akan kebutuhan informasi, ataukah untuk kepentingan lain? Tak dimungkiri, untuk menunjang industri, media membutuhkan tolok ukur yang jelas secara bisnis berupa tiras, rating, dan share, serta klik bagi media-media clickbait alias pemuja klik.
Pengacara LBH Pers, Gading Yonggar Ditya, mengingatkan bahwa pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo juga mengatakan, wartawan harus berada di tengah. Menurutnya, memberikan hak atas informasi publik itu penting, tetapi jangan sampai memberikan informasi tanpa ditimbang-timbang, tanpa diedit atau sekadar mengikuti desas-desus media sosial.