JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum membuka kemungkinan dilakukannya revisi atas urutan penghitungan suara dalam Pemilu 2019. Desakan untuk mengubah urutan ini muncul dari para calon anggota legislatif yang menilai adanya potensi gangguan pada atau setelah proses penghitungan surat suara presiden dan wakil presiden yang dapat menelantarkan penghitungan surat suara DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten serta kota.
Pasal 52 Ayat 6 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara telah menetapkan bahwa penghitungan suara akan diawali dari surat suara pemilihan presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Namun, sebetulnya, rancangan PKPU ini telah dibahas dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR dan juga melalui uji publik. Anggota KPU, Viryan Azis, pada Sabtu (23/2/2019), di Jakarta, mengungkapkan bahwa dalam rapat dengar pendapat di DPR, semua fraksi telah menyetujui norma-norma yang ada dalam PKPU itu. Seharusnya, partai politik dapat menyampaikan aspirasi mereka dalam proses perancangan PKPU.
Viryan pun mengungkapkan bahwa idealnya sebuah regulasi tidaklah dengan mudah berubah-ubah, terlebih lagi saat ini KPU perlu segera menyelesaikan tugas menyusun buku panduan proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara dari ribuan lembar halaman PKPU.
Meski demikian, ia memastikan bahwa KPU terbuka atas masukan-masukan yang muncul dari publik. ”Apabila ada desakan dari DPR, dan ada panggilan setelah reses selesai, kami akan mengikuti segala prosesnya,” ucap Viryan.
Proses revisi pun tidak dapat langsung dilakukan karena DPR sedang dalam masa reses hingga pekan pertama Maret 2019, menyisakan hanya satu bulan sebelum hari pemungutan suara pada 17 April 2019. Pelantikan petugas panitia pemungutan suara (PPS) dan bimbingan teknis pun dijadwalkan undang-undang untuk dimulai 30 hari sebelum hari pemungutan suara.
Dalam sebuah perancangan revisi PKPU, draf revisi harus melalui uji publik dan rapat konsultasi dengan pemerintah serta DPR. Apabila draf sudah disesuaikan dengan catatan-catatan yang disampaikan, dokumen akan segera dikirimkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diundangkan.
Potensi gangguan
Kekhawatiran akan adanya gangguan terhadap proses penghitungan surat suara caleg pusat dan daerah disampaikan oleh caleg Daerah Pemilihan DKI Jakarta-I dari Partai Amanat Nasional, Eko Hendro Purnomo.
”Nanti kalau tidak aman. Akan tetapi, ratusan ribu TPS dan bisa saja ada kerusuhan-kerusuhan yang tidak kita inginkan terjadi. Nanti DPR, DPRD, dan DPD bagaimana? Kalau bisa, penghitungan suara presiden di akhir saja. Bisa diawali dengan DPD, DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, dan DPR RI,” tutur Eko.
Dalam kesempatan sebelumnya, caleg Dapil DKI Jakarta-III dari PDI-P, Effendi Simbolon, juga menyuarakan kekhawatiran yang serupa.
Dengan surat suara legislatif yang dihitung belakangan, potensi kecurangan ataupun kesalahan dalam penghitungan semakin terbuka, apalagi kompleksitas penghitungan caleg lebih rumit dibandingkan dengan surat suara presiden-wakil presiden.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, seusai penghitungan surat suara presiden tuntas, euforia akan melanda sehingga pengawasan pileg tidak akan maksimal.
”Karena pengawasan yang tidak maksimal sekaligus penghitungan hinga larut malam atau dini hari, PPS akan kelelahan, maka tidak ada pengawasan. Manipulasi, jual beli suara dapat terjadi. Misalnya itu pun tidak terjadi, sangat mungkin PPS salah merekapitulasi data karena kelelahan,” kata Veri.